Pages

Makalah Ushul Fiqh mengenai Qiyas

     

     A.    Qiyas
1.    Pengertian Qiyas
Kata Qiyas secara etimologi berarti qadr (ukuran, bandingan).[1] Qiyas menurut bahas Arab berarti menyamakan, membandingkan, atau mengukur.[2]
Adapun secara terminologi, terdapat beberapa definisi qiyas yang dirumuskan ulama, tiga definisi diantaranya adalah sebagai berikut.
a.    Menurut Ibnu as-Subki, qiyas ialah “Menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang laian karena adanya kesamaan ‘illah hukum menurut mujtahid yang menyamakan hukumnya.”
b.    Menurut al-Amidi, qiyas ialah Keserupaan antara cabang dan asal pada ‘illah hukum asal menurut pandangan mujtahid dari segi kemestian terdapatnya hukum(asal) asal tersebut pada cabang.
c.    Menurut Wahbah az-Zuhaili, qiyas ialah “Menghubungkan sesuatu masalah yang tidak terdapat nash syara’ tentang hukumnya dengan suatu masalah yang terdapat nashsh hukumnya, karena adanya persekutuan keduanya dari segi ‘illah hukum.”[3]
Qiyas menurut istilah adalah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.[4]
Dari penjelasan di atas, dapat diartikan bahwa qiyas adalah penetapan hukum suatu peistiwa yang tidak ada dasar nashnya, dengan jalan pembandingan, yaitu membandingkan peristiwa tersebut dengan peristia lain yang telah ada dasar hukumnya (nashnya).
2.    Dasar Hukum dan Kedudukan Qiyas
a.    Al-Qur’an
Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.(QS. Al-Hasyr: 2)
Telah jelas diterangkan Allah dalam kalimat terakhir ayat di atas, yaitu Allah bermaksud memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang ada pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang lain. Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara’ dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.
b.   Hadis
“Sesungguhnya seorang wanita dari kabilah juhainah menghadap Rasulullahsaw. Ia berkata, “Sesungguhnya ibuku telah bernazar melaksnakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan hajinya? Rasulullah saw. menjawab “Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunyai hutang, tentu kamu akan melunasinya bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih tama untuk dibayar”.(HR. Bukhari).

Telah jelas hadis di atas, bahwa Rasul saw. mengqiyaskan kewajiban berhaji dengan kewajiban membayar hutang.
Setelah melihat dasar-dasar di atas, atas dasar-dasar itulah sebabnya jumhur ulama menetapkan qiyas sebagai sumber hukum yang keempat setelah Al Quran, Sunnah dan Ijma’.
3.    Rukun Qiyas
a.    Ashal
Yaitu apa yang terdapat nash dalam hukumnya itu.[5] Dapat diartikan sebagai peristiwa yang hukumnya telah ada dalam nash (Al-Qur’an dan Hadis)
b.   Furu’
Yaitu apa yang tidak terdapat nash dalam hukumnya.[6] Atau fara’ (cabang)[7], yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar.
c.    Hukum Ashal
Yaitu hukum ari asal yang telah ditetapkan nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan kepada fara’ seandainya ada persamaan ‘illatnya.
d.   ‘Illat
Yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’.

4.    Macam-Macam Qiyas
a.    Qiyas ‘Illat
Yitu qiyas yang mempersamakan ashal dengan fara’, karena keduanya mempunyai persamaan ‘illat. Qiyas ini dibagi lagi menjadi dua macam.
1)   Qiyas Jali
Yaitu qiyas yang dasarnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari ‘illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas ini dibagi lagi menjadi tiga, yaitu:
a)    Qiyas yang ‘illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah “illat (sebab) larangan minum khamr, yang disebut dengan jelas di dalam nash.
b)   Qiyas Mulawi
Yaitu qiyas yang hukum pada fara’, sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada ashal. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata-kata ah kepada kedua orangtua berdasarkan firman Allah swt. Berikut:
“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”(QS. Al-Israa’: 23)
     
c)    Qiyas Musawi
Yaitu qiyas hukum yang ditetapkan pada fara’ sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal. Seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim. ‘Illatnya sama-sama menghabiskan harta anak yatim.
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt. Berikut:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).(QS. An-Nisa: 10)

2)   Qiyas Khafi
Yaitu qiyas yang ‘illatnya mungkin dijadikan ‘illat, dan mungkin pula tidak dijadikan ‘illat. Seperti mengqiyaskan sisa minuman burung kepada sisa minuman binatang buas.
b.   Qiyas Dalalah
Ialah qiyas yang ‘illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya ‘illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa.
c.    Qiyas Syibih
Ialah qiyas yang fara’ dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara’.
Seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi juga dapat diqiyaskan dengan harta benda karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak lebih diqiyaskan kepada harta benda, karena dapat dijual-belikan, diwaqafkan dan diwariskan.


[1] Ibid., hlm. 161.
[2] Kemal Muchtar, Op. Cit., hlm. 107.
[3] Abd. Rahman Dahlan, Loc. Cit.
[4] A. Hanafie, Usul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1975), hlm. 128.
[5] Syekh Abdul Wahab Khalaf, Op. Cit., hlm. 68.
[6] Ibid.
[7] Kemal Muchtar, Op. Cit., hlm. 118.

Makalah Ushul Fiqh mengenai Ijma'

 

BAB II
PRMBAHASAN
   A.  Ijma’ (Ijmak)
1.    Pengertian Ijma’
Secara etimologi, ijma’ diartikan menjadi dua pengertian, yaitu kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal[1] dan bermaksud atau berniat.[2]
Definisi ijmak menurut istilah ushul ialah sepakat para mujtahid Muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasulullah terhadap hukum syar’i, pada suatu peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu dikemukakan kepada semua mujtahid diwaktu terjadinya.[3]
Ijma’ menurut Muhammad bin Hamzah al-Ghifari adalah “kesepakatan semua mujtahid dari kalangan umat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum syara”.[4] Hampir sama dengan ijma’ menurut Al-Kamal bin Al-Hummam, yaitu “Kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa dikalangan umat Muhammad terhadap perkara syara”.[5]
Dari definisi di atas dapat di pahami bahwa ijma mengandung beberapa unsur sebagai berikut:
a.    Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan umat Islam (ulama)
Apabila ada ulama yang menolak kesepakan tersebut, maka kesepakatan dari yang lainya itu tidak dapat di sebut ijma. Berdasarkan unsur yang pertama ini dapat pula diketahui, ulama yang melakukan kesepakatan tersebut harus dari seluruh ulama yang ada, tanpa pembatasan wilayah negara , dan/atau golongan tertentu.
b.    Suatu kesepakatan yang dilakukan haruslah dinyatakan secara jelas
Berdasarkan unsur ini, jika ada ulama mujtahid yang diam diam berbeda pendapat dengan ulama mujtahid lainya, ijma juga tidak terwujud.
c.    Yang melakukan kesepakatan tersebut adalah mujtahid
d.   Kesepkatan tersebut terjadi setelah wafatnya Rasulullah SAW.
e.    Yang di sepakati itu adalah hukum syara’ mengenai suatu masalah/peristiwa hukum tertentu[6]
Dari penjelasan di atas dapat diartikan bahwa ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan umat Islam secara jelas tentang suatu hukum syara’ dari suatu peristiwa atau permasalah yang ada, adanya yaitu setelah wafatnya Nabi saw. Karena selagi Rasul SAW. masih hidup, maka beliau sendiri yang menjadi sumber suatu hukum.
Contohnya adalah setelah Rasulullah SAW. meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pemimpi yang disebut khalifah. Setelah petinggi kaum muslimin bermusyawarah, pada akhirnya mereka sepakat untuk mengangkat seorang khalifah, yaitu Abu Bakar ra. Sebagai khalifah pertama. Walaupun pada awalnya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar ra. itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuainya.
2.    Kedudukan Ijma’
Jumhur ulama  berpendapat, ijma merupakan hujjah yang bersifat qath’I (pasti). Artinya ijma’ adalah dasar penetapan hukum yang bersifat mengikat dan wajib untuk dipatuhi dan diamalkan. Itulah sebabnya jumhur ulama menetapkan ijma’ sebagai sumber hukum yang ketiga setelah Al Quran dan Sunnah. Menurut ulama, dalil ijma sebagai hujjah yang pasti, di dasarkan atas alasan alasan sebagai berikut:
a.    Al-Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59)
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas, berarti hal, keadaan, atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan agama. Ulil amri dalam urusan dunia adalah raja, kepala negara, pemimin atau penguasa,  sedangkan ulil ami dalam hal agama adalah para mujtahid.[7]
Dari ayat dan penjelsan di atas dapat dipahami bahwa jika ulil amri itu telah sepakat tentang suatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
b.   Al-Hadis
“Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan”.(HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Bila mujtahid telah melakukan ijma’ tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma’ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta sebagaimana sabda Rasulullah SAW. di atas.
c.    Akal Pikiran
Bila seorang mujtahid berijtihad dengan menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimal dari yang mungkin dipahami dari nash itu, yaitu sesuai dengan akal pikiran/kemampuannya. Begitupula bila seorang mujtahid berijtihad menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti dengan qiyas, istihsan dan sebagainya.
Dengan demikian hasil ijtihad yang telah dilakukan tidak akan jauh meyimpang atau menyalahi Al-Qur’an dan Hadis.
3.    Rukun Ijma’
Rukun ijma ada empat, yaitu :
a.    Yang melakukan ijma’ hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam
b.    Adanya permasalah syara’
c.    Kesepakatan dilakukan secara tegas, terang-terangan dan bulat oleh seluruh mujtahid

4.    Macam-Macam Ijma’
Ditinjau dari sudut cara menghasilkan hukum itu atau segi terbentuknya, maka ijmak terbagi menjadi dua macam:
a.    Ijmak Sharih (Bersih atau Murni)
Yaitu kesepakatan seluruh mujtahid terhadap hukum mengenai suatu peristiwa, di mana kesepakatan tersebut dinyatakan dalam bentuk perkataan lisan atau perbuatan, mengenai hukum dari suatu masalah tersebut.[8] Dari pernyataan tersebut telah jelas, bahwasannya jenis ijma’ ini sudah pasti dijadikan hujjah dalam penentuan suatu hukum (sumber hukum), karena seluruh mujtahid sependapat.
b. Ijmak Sukuti
Yaitu kesepakatan sebagian mujtahid itu terang-terangan menyatakan pendapatnya itu dengan fatwa, atau memutuskan suatu perkara. Dan sebagian lagi hanya berdiam diri. Hal ini berarti dia menyetujui, atau berbeda pendapat terhadap yang dikemukakan itu dalam mengupas suatu masalah. Ada yang mengatakan bahwa injma; ini dapat menjadi hujjah, namun ada juga yang berpendapat tidak.
Adapun macam-macam ijma dari segi cakupan ulama yang melakukan ijma’ ersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:

a.    Ijma’ Ahl al-Madianah (Kesepakatan Masyarakat Madinah)
Pendapat ini dikemukakanoleh oleh Imam Malik. Menurutnya, ijma’ ahl al Madinah merupakan hujjah, yaitu ijma yang dilakukan oleh kalangan sahabat atau tabi’in yang berda di Madinah. Para ulama mahzab Maliki berbeda pendapat apa yang dimaksud dengan kehujahan ijma ahl al Madinah. Dalam hal ini, pendapat mereka terbagi dua, yaitu sebagai berikut:
1)    Yang dimaksud adalah  informasi hukum yang di sampaikan masyarakat Madinah lebih kuat dan akurat di bandingkan dengan informasi hukum yang diberikan oleh ulama luar Madinah. Sebab mereka paling dekat dengan kehidupan Rasulullah, sehingga paling mengetahui apa yang di ajarkan beliau.
2)    Yang dimaksud adalah Ijma mengenai hal hal yang berkaitan kebiasaan dan adat istiadat yang merata yang merkaitan dengan hukum tertentu, dimana tingkat keberlakuanya sangat populer di kalangan masyarakat Madinah. Misalnya, mengenai kalimat kalimat dan tatacara adzan dan iqamah, dan tentang jumlah takran yang di sebut sha (gantang) mudd (pon).[9]
Dengan demikian, yang dimaksud dengan ijma ahl al Madianah adalah kesepakatan dalam bidang hukum yang cara penetapanya terdiri atas dua cara yaitu:
1)   Melalui cara periwayatan
2)   Melalui cara ijtihad
b.   Ijma’Ahl Haramain (Kesepakatan Masyarakat Mekah dan Madinah)
Sebagian ulama ushul berpendapat, kesepakatan masyarakat dari kedua wilayah Mekah dan Madinah merupakan hujjah. Pendapat ini berangakat dari keyakinan bahwa ijma’ terbentuk hanya pada masa sahabat, sementara Makkah dan Madinah adalah dua wilayah yang banyak didiami para sahanat, maka kesepakatan yang lahir dari kedua wilayah tersebut tentu juga hujjah.

c.    Ijma’ Ahl al Mishrain (Kesepakatan Masyarakat Dua Kota Basrah dan Kufah)
Sama dengan Ijma Ahl Haramain, mereka yang berpendapat bahwa ijma ahl al-Mishrain juga merupakan hujjah, mengemukakan alasan bahwa kedua kota ini merupakan konsentrasi domisili para sahabat Rasulullah, sedangkan Ijma hanya dapat terbentuk khusus pada masa sahabat saja. Akan tetapi, alsaan terakhir ini di bantah oleh kenyataan bahwa para sahabat tidak hanya bermukim di Mekkah dan Madinah, atau Basrah dan Kufah saja, melainkan juga di wilayah wilayah lainya, seperti Irak, Yaman, dan Syam. Demikian juga pendapat yang menyatakan bahwa ijma secara khusus hanya terjadi pada masa sahabat, dapat di bantah dengan mengatakan, tidak cukup alasan membatasi ijma hanya pada masa sahabat. Sebagaimana telah dikemukakan, ijma dapat terjadi kapan saja asalkan terpenuhi unsur unsurnya.
d.   Ijma’ asy-Syaikhan/Ijma’ al Khalifatain (Kesepakatan Dua Khalifah (Abu Bakar dan Umar))
Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian ulama, berdasarkan hadis Nabi SW., berikut ini: “Dari Huzaifah, bahwa Nabi SAW bersabda: “Turutilah dua orang setelah (wafat)-ku: Abu Bakar dan Umar”.
e.    Ijma’ al-Khulafa’ al-Arba/al-Khaulafa’ ar-Rasydin (Kesepakatan Khalifah yang Empat)
Pendapat ini dikemukakan oleh ulama Hanafiyyah yang bernama al-Qadhi Abi Hazim, dan menurut satu riwayat, juga oleh hmad bin Hanbal. Mereka berpendapat, berbeda dengan sahabat lainya, kesepakatan di antara khalifah yang empat: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, merupakan hujjah.
f.     Ijma’ Al-Itrah (Kesepakatan Ahl al Bayt/ Keluarga Nabi)
Pendapat ini dikemukakan oleh golongan Syi’ah Al-Imamiyyahdan az-Zaidiyyah. Mereka mengatakan, kesepakatan keluarga Nabi (Ali, Fatimah dan kedua anak mereka Hasan Husain) merupakan Hujjah. Dalil Al Quran yang mereka kemukakan ialah, surah Al Ahzab (33): 33. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu. Hai ahl-bayt dan membersihkan kamu sebersih bersihnya.”
Menurut mereka, ayat di atas menjelaskan bahwa Allah membersihkan dosa ahl –bayt dengan menggunakan kata innama. Dalam bahasa Arab, kata ini menunjuk pengertian penguatan dan pembatasan. Karena ahl bayt telah di bersihkan dari dosa, maka mereka termasuk ma’shum, dan kerena itu ijma mereka menjadi hujjah.


[1] Kemal Muchtar, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 99.
[2] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Seti, 1998), hlm. 68.
[3] Syekh Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm. 49.
[4] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 81.
[5] Ibid., hlm. 81-82.
[6] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 146-147.
[7] Kemal Muchtar, Op. Cit., hlm. 100.
[8] Abd. Rahman Dahlan, Op. Cit.,  hlm. 151.
[9] Ibid., hlm. 153.
 

Copyright © Nelly Agustin Education. Template created by Volverene from Templates Block
WP by Simply WP | Solitaire Online