1. Sumber
hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada
yang masih diperselisihkan (mukhtalaf). Sebutkan sumber hukum
Islam yang disepakati para ulama dan jelaskan fungsi serta kedudukan
masing-masing sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama tersebut?
Jawaban:
Sumber hukum Islam yang disepakati
para jumhur ulama adalah Al-Qur’an, al-Hadis, Ijma’ dan Qiyas.
Pertama, kedudukan
Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dan
pertama bagi penetapan hukum Islam (pokok hukum Islam). Jika ada sesuatu
permasalahan, maka yang pertamakali dijadikan sumber hukum adalah Al-Qur’an.
Sebagaimana firman Allah swt. berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
(QS. An-Nisa:59)
Fungsi Al-Qur’an sangatlah banyak yang di sebutkan di dalam ayat-ayatnya, namun secara
pokok diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
sebagai
hudan (petunjuk) bagi kehidupan umat manusia. Fungsi ini banyak sekali
disebutkan di dalam Al-Qur’an, yakni lebih dari 79 ayat, salah satunya adalah
sebagai berikut:
“Kitab (Al
Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (QS. Al-Baqarah:
2)
b.
sebagai rahmat
(keberuntungan) yang dikaruniakan Allah pada umat manusia dalam bentuk kasih
sayang. Jika mereka menerima dan mengamalkan keseluruhan Al-Qur’an, maka mereka
akan mendapatkan kehidupanyang bahagia di dunia dan di akhirat kelak. Telah di
sebutkan Allah dalam Al-Qur’an, tidak kurang dari 15 kali.salahsatunya adalah
“Inilah
ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmat, menjadi petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS.Lukman: 2-3)
Kedua,
kedudukan hadis adalah sebagai sumber hukum kedua setelah
Al-Qur’an bagi umat Islam. Jika suatu permasalahan telah dicari solusinya di
dalam Al-Qur’an, namun solusi yang dicari tidak ditemukan atau kurang
jelas/rinci maka jalan selanjutnya adalah mencari solusinya di dalam Hadis.
Sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an surah an-Nisa ayat 59 di atas.
Fungsi
hadis yang utama adalah sebagai bayani yaitu untuk
menjelaskan Al-Qur’an. Telah kita ketahui bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum
dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang belum dapat dilaksanakan tanpa
penjelasan dari hadis. Berikut akan diuraikan mengenai fungsi hadis:
a.
fungsi ta’kid dan
taqrir, yaitu hadis berfungsi
menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an.
b.
Fungsi tafsir, yaitu
memberikan rincian/tafsiran terhadap ayat Al-Qur’an yang masih bersifat global/mujmal;
menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an; membatasi apa-apa yang
disebutkan dalam Al-Qur’an secara umum.
c.
Fungsi itsbat atau
insya’, yaitu menetapkan hukum dalam hadis yang
secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Ketiga, kedudukan
ijma’. Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma’
menempati sumber hukum sesudah Al-Qur’an dan hadis, yakni sumber hukum yang
ketiga. Jika tidak ditemukan solusi dari suatu masalah dalam Al-Qur’andan
hadis, maka di cari dalam ijma’. Sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an
surah an-Nisa ayat 59 di atas. Ulil amri yang dimaksudkan adalah
mujtahid.
Fungsi
ijma’. Yang dimaksud fungsi ijma’ di sini adalah kedudukannya
dihubungkan dengan dalil lain,berupa nash atau bukan. Ijma’ berfungsi menetapkan
hukum atas dasar taufik Allah yang telah dianugerahkan kepada ulama yang
melakukan ijma’ tersebut. Dari lain sisi, ijma’ itu berfungsi untuk
meningkatkan kualitas dalil yang dijadikan sandaran/rujukan.
Keempat,
kedudukan qiyas adalah sumber hukum yang keempat setelah
Al-Qur’an, hadis dan ijma’. Sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an surah
al-Hasyr ayat 2 di atas. Fungsinya adalah membandingkan suatu peristiwa
yang tidak ada hukumnya di dalam nash dan ijma’, dengan peristiwa yang memiliki
kemiripan illat dan ada hukumnya dalam nash ataupun ijma’.
2. Ada beberapa sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan dikalangan para ulama, jelaskan sumber hukum yang dimaksud dan jelaskan pula kehujjahannya?
Jawaban:
Sumber hukum
Islam yang masih diperselisihkan dikalangan para ulama, yaitu
a. Istihsan
Berikut adalah pengertian istihsan
menurut bahasa, istilah dan pendapat para ahli, yaitu:
ü segala hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya;
ü ialah mengembalikan sesuatu pada yang baik;
ü suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil
yang tertentu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah;
ü perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang
hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.
Dari pengertian-pengertian di atas,
dapat dipahami bahwa istihsan adalah penarikan suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum
lain. Bisa Al-Qu’an atau hadis, dan mengambil yang paling baik menurut akal
para mujtahid.
Kehujjahan atau landasan/ alasan menetapkan hukum berdasarkan istihsan diakui
oleh mazhab Hanafi. Namun, sebagian mujtahid ada yang mengingkari
kehujjahannya, seperti mazhab Syafi’i. Mereka berpendapat bahwa kehujjahan istihsan
ini berdasarkan hawa nafsu dan barang siapa yang berhujjah menggunakan istihsan
berarti dialah yang mensyari’atkannya.
b.
Muslahah marsalah
Yaitu suatu kemaslahatan yang tidak
mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Yaitu suatu ketentuan
yang berdasarkan pemeliharaan kemudaratan atau menyatakan suatu kemanfaatan,
artinya mendatangkan kemanfaatan dan menghapuskan kemudaratan dalam masyarakat.
Menurut ulama-ulama terkemuka,
mazhab Hanafi, mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i, bahwa muslahah marsalah itu
merupakan hujjah syar’iyah (dalil hukum Islam). Barang siapa yang
mengemukakan hujjah dengan muslahah marsalah, mereka haruslah
berhati-hati, sehingga dalam menetapkan hukum bukan sebagai pintu untuk
memperturutkan hawa nafsu dan keinginan.
c.
Al-istishhab
Yaitu pelajaran yang terampil dari sahabat Nabi saw. atau hukum
terhadap sesuatu dengan keadaan yang ada sebelumnya, sampai adanya dalil untuk
mengubah keadaan itu.
Ulama-ulama Hanafi menetapkan bahwa istishhab itu adalah hujjah
untuk menolak, bukan untuk menetapkan suatu dalil atas suatu hukum. Maksudnya
adalah hujjah untuk mengekalkan dalil suatu hukum yang sudah ada, dan menolak
dalil suatu hukum yang berlainan dengannya, sampai ada dalil yang jelas yang
menetapkan yang berbeda dengan dalil hukum tersebut.
d.
Al-arfu/‘Urf
‘Urf atau kebiasaan masyarakat adalah sesuatu yang berulang-ulang
dilakukan oleh suatu masyarakat di daerah tertentu, yang dilakukan secara
terus-menerus, baik dalam satu masa atau sepanjang masa.
Para ulama mazhab fiqh pada dasarnya bersepakat untuk menjadikan
‘urf sebagai hujjah syar’iyah. Melihat dari bentuk ‘urf itu sendiri, apakah
‘urf itu baik atau fasid.
e.
Mazhab sahabat
Yaitu fatwa atau perkataan sahabat
Nabi saw. yang bersifat perseorangan. Mengenai kehujjahannya para ulama berbeda
pendapat. Ulama Hanafiyah berpendapat mazhab sahabat adalah hujjah syar’iyah
bagi perkara yang tidak dapat dijangkau oleh qiyas. Menurut ulama Malikiyah mazhab
sahabat merupakan hujjah syar’iyah yang harus dipriyoritaskan dari pada qiyas.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa mazhab sahabat tidak bisa dijadikan hujjah
syar’iyah sama sekali karena sahabat bukanlah orang yang ma’sum.
n f.
Syari’at sebelum kita (syar’u man qoblana)
Yaitu
hukum-hukum yang disyari’atkan oleh umat sebelum Islam yang dibawaolehnabi dan
rasul terdahulu dan menjadi beban yang harus dipikul oleh umat sebelum adanya
syari’at Nabi saw. kehujjahannya, ada dua pendapat:
a.
Jumhur
ulama Hanafiyah dan Hanabilah, berpendapat bahwa syari’at sebelum kita tidak
bisa dijadikan hujjah. Karena syari’at yang dibawa Nabi saw. sacara umum
menasakh syari’at sebelumnya.
b.
Sebagian
ulama Syafi’iyah, berpendapat bahwa syar’u man qoblana bisa dijadikan hujjah. Karena
syari’at terdahulu masih ada yang
dipaparkan dalam Al-Qur’an dan sunnah, jika tidak ada penjelasan tentang
nasakhnya secara khusus mengenai syari’at tersebut, maka syari’at tersebut
harus tetap dijalankan oleh umat Nabi saw.
3.
Sebagian
ulama menyebutkan bahwa sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan itu
berkedudukan sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, dan sebagian
lagi menyebutkan bahwa sumber hukum Islam yang diperselisihkan itu sebagai metode
ijtihad. Bagaimana saudara menjelaskan dua pendapat itu?
Jawaban:
Sumber hukum adalah sesutu yang
kepadanya didasarkan hukum syara’, maksudnya yaitu suatu wadah yang darinya
dapat ditimba suatu hukum syara’. Atau wadah yang darinya dapat ditarik
dalil-dalil suatu hukum syara’. Karena isinya adalah dalil-dalil syara’.
Dalil hukum adalah sesuatu yang
digunakan oleh hukum syara’ yang berkenaan dengan amal perbuatan secara pasti
dan atau sesuatu yang padanya terdapat penunjukan pengajaran, baik yang dapat
menyampaikan kepada seuatu yang meyakinkan atau kepada dugaan kuat yang tidak
meyakinkan.
Sumber hukum Islam yang masih
diperselisihkan itu menurut saya berkedudukan sebagai dalil hukum, bukan
sumber hukum. Karena sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan tersebut
adalah suatu metode dalam berijtihad. Metode atau cara ini yang nantinya akan
menghasilkan yang namanya dalil hukum, bukan sumber hukum. Karena sumber hukum
adalah keseluruhan dari dalil hukum dan tempat/wadah mengambil dalil hukum.
Sedangkan metode adalah cara mendapatkan suatu dalil hukum yang belum
diperjelas di dalam sumber hukum (Al-Qur’an dan hadis).
Sumber hukum dasar dari setiap hukum syara’
yang pasti, berisi banyak dalil.
Dalil hukum sesuatu yang digunakan oleh salah satu hukum
syara’, yang diambil dari dalam sumber hukum.
Sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan sebagai metode ijtihad hukum yang tidak ditemukan secara
langsung dalam sumber hukum. Namun, masih kembali pada sumber hukum dalam
menetapkannya.
4.
Dalam
menetapkan suatu hukum syara’ tertentu, diantara para mujtahid bisa saja
berbeda dalam menetapkan hukum syara’. Mengapa bisa terjadi demikian? Jelaskan
dengan detail!
Jawaban:
Menurut sepengetahuan dan yang saya
pahami, semua ini terjadi dikarenakan
beberapa hal:
a.
Karena
tingkat keimanan (spiritualitas) seorang mujtahid yang berbeda-beda, hingga
menyebabkan mujtahid tersebut dalam mempercayai atau meyakini suatu dalil hukum
juga berbeda-beda.
b.
Karena
tingkat intelektualitas para mujtahid yang berbeda-beda. Baik itu dalam
mengetahui, memahami, dan menguasai suatu ilmu pengetahuan, serta ingatan
seorang mujtahid,
c.
Sudut
pandang yang digunakan mujtahid juga berbeda-beda dalam mengartikan suatu
permasalahan dan solusinya,
d.
Latar
belaang pengalaman atau penempuhan pendidikan yang dilalui oleh seorang
mujtahid. Ada yang menempuh di dalam negeri atau luar negeri. Yang pasti
kualitas dari pendidikan yang ditempuh pun berbeda-beda,
e.
Karena
tingkat latar belakang situasi dan kondisi (lingkungan) sekitarpunjuga termasuk
sebab-sebabnya. Sehingga membuat mujtahid merasa toleransi atau memaklumi dalam
pengambilan keputusan suatu permasalahan yang ada.
0 komentar:
Posting Komentar