BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf
1. Secara Etimologi
Dari segi
bahasa terdapat sejumlah kata atau bahasa istilah yang di hubung-hubungkan para
ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution misalnya, menyebutkan 5
istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah) atau orang yang ikut pindah dengan nabi
dari mekah ke madinah, saf (barisan), sufi (suci), sophos (bahasa
Yunani: hikmah), dan suf (kain wol).
Dari lima
istilah ini, seluruhnya bisa saja dihubungkan dengan tasawuf. Pertama, Ahl al-suffah (orang yang ikut pindah
dengan nabi dari mekkah ke madinah) misalnya, menggambarkan keadaan orang yang
mencurahkan jiwa dan raganya, harta benda dan lain sebabagainya hanya untuk
Allah SWT. Mereka ini rela meninggalkan kampung halamannya, rumah, dan kekayaan
maupun harta benda lainnya di Mekah untuk hijrah bersma nabi ke Madinah. Tanpa
adanya unsur iman dan kecintaan pada Allah SWT. tidak mungkin mereka melakukan
hal yang demikian.
Kedua, kata shaf (صف ), makna shaf ini
dinisbahkan kepada orang-orang yang ketika shalat selalu beradadi saf yang
paling depan.
Dari paparan ini menggambarkan bahwa orang yang selalu berada dibarisan
terdepan dalam beribadah kepada Allah SWT. dan melakukan amal kebajikan (amal shalih).
Ketiga, kata shufi ( صفى ), yang berarti
suci. Hampir sama dengan kata shafa, yang berarti nama bagi orang-orang
yang bersih atau suci.
Dari paparantersebut berari bahwa kata ini menggambarkan orang yang selalu
memelihara dirinya dari perbuatan dosa dan maksiat, serta orang-orang yang
menyucikan dirinya di hadapan Tuhan-nya.
Keempat, kata shuf (صوف ), yang bermakna bulu domba atau
wol. Shuf
menggambarkan orang yang hidup sederhana dan tidak mementingkan kehidupan
dunia atau yang sering disebut dengan zuhud.
Kelima, adalah istilah kata shophos
berasal dari bahasa Yunani, atau saufi yang berarti hikmah.
Dari kata ini tasawuf menggambarkan keadaan jiwa seseorang yang senantiasa
cendrung kepada kebaikan dan kebenaran.
Dari segi
kebebasan (linguistik) ini dapat dipahami bahwa tasawuf adalah keadaan
jiwa seseorang yang selalu berusaha memelihara kesucian diri, ibadah, kehidupan
yang sederhana atau jauh dari kemegahan dan kemewahan, rela berkorban untuk
kebaikan dan selalu berusaha bersikap bijaksana. Sikap mental seperti ini pada
hakikatnya dapat dikatakan sebagai ahlak yang mulia.
2. Secara Terminologi
Pengertian
tasawuf dari segi istilah, banyak sekali para ahli yang mengungkapkan pendapat
mereka mengenai tasawuf secara istilah ini.
Pendapat para ahli bergantung kepada sudut pandang yang digunakannya
masing-masing. Sehingga menimbulkan sedikit perbedaan dalam mengartikannya,
namun intinya adalah sama.
Selama
ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan
tasawuf, yaitu sudut pandang manusia yang terbatas, manusia yang harus
berjuang, dan manusia sebagai mahluk yang ber-Tuhan. Jika dilihat dari
sudut pandang manusia sebagai mahluk yang terbatas, maka tasawuf dapat
didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh
kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.
Selanjutnya
jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai mahluk yang harus berjuang,
maka taswuf didefinisikan sebagai upaya diri untuk memindah ahlak yang
bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dan
jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai mahluk yang ber-Tuhan,
maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (ke-Tuhan-an) yang
dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat
menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Pendapat
mengenai makna tasawuf oleh beberapa ahli akan dipaparkan sebagai berikut:
a.
Syekh
Junaidi Al-Baghdad berkata:
“Tashawwuf
adalah hendaknya keadaanmu beserta Allah tanpa adanya peratara”.
Dari
ungkapa ini dapat diartikan bahwa tasawuf adalah ilmu yang berusaha agar seseorang menghadap Allah tanpa
ada perantara di antara keduanya. Sehingga ia merasa tenang berhapan dengan
Allah SWT. yang ia cintai dengan langsung tanpa penghalang.
b.
Muhammad
Ali A-Qassab
“Tasawuf
adalah akhlak mulia yag timbul pada waktu mulia dari seorang yang mulia di
tengah-tengah kaumnya yang mulia pula”.
c.
Ibnu
Khaldun
“Tashawwuf
adalah semacam ilmu syari’at yang timbul kemudian di dalam agama, asalnya
adalah bertekun beribadah dan memutuskan pertaliannya dengan segala selain
Allah, hanya menghadap Allah semata, menolak hiasan-hiasan dunia serta membenci
perkara-perkara yang selalu memperdaya orang banyak, kelezatan harta benda dan
kemegahan, dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah”.
asyari’at meninggalkan kesenangan dunia dan selalu berusaha mendekatkan
diri pada Allah SWT. dengan melakukan amalan-amalan shalih.
Jika
definisi taswuf tersebut di atas satu dengan lain nya dihubungkan, maka segera
tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai
kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga
tercermin akhlak yang mulia dan dekat kepada Allah SWT. Dengan kata lain,
tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan pembinaan mental rohaniah agar
selalu dekat dengan Tuhan, dengan pengamalan lahir maupun batin. Inilah esensi
atau hakikat tasawuf yang sesungguhnya.
B.
Asal Usul Tasawuf
Tentang asal
usul atau sejarah tasawuf, kini semakin banyak orang yang menelitinya. Misalnya
adalah Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-Taftazani, beliau sudah mengulasnya
cukup lengkap. Menurutnya, sejak permulaan abad ke-19 sampai akhir-akhir ini
terjadi perbedaan pendapat dikalangan orientalis tentang asal usul tasawuf. Ada
sebagia yang beranggapan bahwa tasawuf berasal dari Masehi (Kristen);
ada juga yang mengatakan berasal dari unsur Hindu-Budha, unsur Persia,
unsur Yunani, unsur Arab, dan sebagainya.
Asal usul
tasawuf dari kalangan para orientalis Barat biasanya di jumpai pendapat yang
mengatakan bahwa sumber/asal yang membentuk tasawuf itu ada lima, yaitu unsur
Islam, unsur Masehi (agama Nasrani), unsur
Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia.
Asal usul dari tasawuf ini dapat diperkecil lagi menjadi dua unsur, yaitu unsur
Islam dan unsur di luar Islam. Kelima unsur ini secara ringkas dapat di
jelaskan sebagai berikut:
1.
Unsur Islam
Menurut Hamka
dalam bukunya “Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad” menyimpulkan
bahwasannya tasawuf Islam telah tumbuh
sejak tumbuhnya agama Islam itu sendiri. Bertumbuh di dalam jiwa pendiri Islam
itu sendiri, yaitu Nabi Muhammad SAW., yang sumbernya diambil dari Al-Qur’an
itu sendiri.
Ajaran Islam
mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan kehidupan bersifat
batiniah, pada dasar yang bersifat batiniah itulah kemudian lahir tasawuf.
Unsur kehidupan tasawuf ini mendapatkan perhatian yang cukup besar dari sumber
ajaran Islam, Al-Qur’an dan al-Sunnah serta peraktik kehidupan Nabi dan para
sahabat nya.
Unsur kehidupan
tasawuf yang terlahir dari sifat batiniyah banyak dibicarakan dalam Al-Qur’an.
Pembicaraan tentang batiniyah tersebut dapat berupa; pertama, tentang
kemungkinan manusia dengan Tuhan dapat
saling mencintai (mahabbah), sebagaimana firman Allah SWT. berikut ini:
“Hai
orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya,
Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin,
yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah,
dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia
Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui”. (QS. Al-Maidah:
54)
Kedua,
perintah agar manusia senantiasa bertaubah, membersihkan diri dan
menohon ampunan kepada Allah SWT. sebagaimana firman-Nya berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan
nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan
orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan
dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami,
sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau
Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Tahrim:
66)
Ketiga,
pentunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan dimana
pun ia berada. Sebagaimana firman Allah SWT. berikut ini:
“Dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu
usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (QS.
Al-Baqarah: 110)
Keempat,
Tuhan dapat memberikan cahaya yang kepada orang yang
dikehendaki-Nya, sebagaimana disebutkan Allah dalam ayat berikut:
“Allah
(pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)
seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya,
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak
pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi,
walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu.” (QS. An-Nur: 35)
Kelima, Al-qur’an mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak
diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda. Allah SWT. berfirman:
“Hai
manusia, Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah
kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang
pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” (QS.
Al-Fatir: 5)
Sejalan
dengan apa yang dibicarakan Al-qur’an di atas, Al-sunnah pun banyak berbicara
tentang kehidupan rohaniah, contoh haditsnya adalah sebagai berikut:
“Senantiasalah seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunat sehingga Aku
mencintainya. Maka apabila Aku mencintainya maka jadilah Aku
pendengarannya yang dia pakai untuk melihat dan lidahnya yang dia pakai untuk
berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia
pakai untuk berusaha; maka dengan Ku-lah dia mendengar, melihat, berbicara,
berpikir, meninju dan berjalan.”
Dari
hadis di atas
memberi petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan bisa bersatu. Diri manusia bisa lebur dalam diri Tuhan, yang selanjutnya dikenal dengan
istilah al-Fana’, yaitu fananya makhluk sebagai yang mencintai
kepada diri Tuhan sebagai yang dicintai.
Contoh
dari tasawuf adalah di dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. sendiri. Di dalam diri beliau juga terdapat petunjuk yang
menggambarkannya sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad telah melakukan
pengasingan diri ke Gua Hira’ menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan di mana waktu itu orang Arab terbenam di
dalamnya, seperti dalam praktik perdagangan yang menggunakan segala cara yang
menghalalkan.
Selama di Gua Hira yang ia kerjakan hanyalah tafakkur, beribadah dan hidup sebagai seorang yang zahid.
Beliau hidup sederhana, terkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak memakan
makanan atau meminum minuman kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah SWT, sehingga Siti Aisyah, istri beliau bertanya: “Mengapa Engkau berbuat begini ya Rasulullah,
sedangkan Allah senantiasa mengampuni dosamu. Nabi menjawab, “Apakah engkau tidak ingin agar aku menjadi hamba yang bersyukur kepada
Allah.”
Dikalangan para sahabat pun ada pula orang
yang mengikuti praktik bertasawuf sebagaimana yang diamalkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Abu Bakar Ash-Shiddiq misalnya berkata: “Aku mendapatkan kemuliaan
dalam ketakwaan, kefanaan dalam keagungan dan rendah hati.”
Demikian
pula khalifah Umar Ibn Khattab pada suatu ketika pernah berkhutbah di hadapan
jamaah kaum muslimin dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana.
Selanjutnya khalifah Usman Ibn ‘Affan banyak menghabiskan waktunya untuk
beribadah dan membaca Al-Qur’an, Baginya Al-Qur’an ibarat surat dan kekasih
yang selalu dibawa dan dibaca ke manapun ia pergi. Demikian pula sahabat-sahabat lainnya
seperti Abu Dzar al-Ghiffari, Tamin Darmy, dan Huzaifah al-Yamani.
Dari
paparan informasi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa munculnya tasawuf di
kalangan umat Islam bersumber pada dorongan ajaran Islam, praktek Rasulullah
SAW. dan para sahabat beliau, serta faktor situasi sosial dan sejarah kehidupan
masyarakat pada umumnya.
2.
Unsur Luar Islam
Asal
usul atau sumber sejarah tasawuf ada yang berasal dari luar Islam, secara akademik hal ini bisa saja diterima, namun secara akidah perlu kehati-hatian.
Para orientalis Barat menyimpulkan bahwa
adanya unsur luar Islam masuk ke dalam tasawuf itu disebabkan karena secara
historis agama-agama tersebut telah ada sebelum Islam, bahkan banyak dikenal
oleh masyarakat Arab yang kemudian masuk Islam. Akan tetapi, kita dapat
mengatakan bahwa boleh saja orang Arab terpengaruh oleh agama-agama tersebut, namun tidak secara otomatis memengaruhi
kehidupan tasawuf, karena para penyusun ilmu tasawuf atau orang yang kelak
menjadi sufi itu bukan berasal dan mereka itu.
Unsur-unsur
luar Islam yang diduga memengaruhi tasawuf dalam Islam tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a.
Unsur Masehi (Kristen/Nasrani)
Mereka
yang beranggapan bahwa tasawuf berasal dari unsur Nasrani mendasarkan
argumentasinya pada dua hal: Pertama, adanya suatu interaksi antara
orang-orang Arab dan kaum Nasrani pada masa Jahiliyah maupun zaman Islam. Kedua,
adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para asketis atau sufi dalam hal
ajaran serta cara mereka melatih jiwa dan mengasingkan diri dengan kehidupan
Al-Masih dan ajaran-ajarannya serta dengan para rahib ketika sembahyang dan
berpakaian.
Dari paparan di atas dapat diartikan bahwa unsur Nasrani ini
berpengaruh dengan tasawuf Islam didasarkan pada interaksi antara Nasrani dan
bangsa Arab pada zaman Jahiliyah pada kala itu. Interaksi-interaksi tersebut
melahirkan adanya saling ketertarikan, baik dari bangsa Arab maupun Nasrani.
Ketertarikan ini memunculkan adanya orang Arab yang sangat menyukai cara
kependetaan, khususnya dalam hal latihan jiwa dan ibadah, serta dalam
berpenampilan/berpakaian.
Atas
dasar ini tidak mengherankan jika Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf adalah buah dan unsur agama Nasrani yang
terdapat pada zaman Jahiliyah. Hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziher yang
mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam adalah merupakan cabang dari agama Nasrani.
Unsur-unsur tasawuf yang diduga memengaruhi tasawuf Islam adalah sikap fakir. Menurut keyakinan Nasrani bahwa Isa bin Maryam adalah seorang yang fakir, dan Injil juga disampaikan kepada orang fakir, sebagaimana beliau pernah berucap dalam Injil Matius, “Beruntunglah
kamu orang-orang miskin karena bagi kamulah kerajaan Allah, beruntunglah kamu
orang yang lapar karena kamu akan kenyang.”
Selanjutnya
Noldicker mengatakan bahwa pakaian wol kasar yang kelak digunakan para sufi
sebagai lambang kesederhanaan hidup adalah merupakan pakaian yang biasa dipakai
oleh para pendeta. Sedangkan Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf itu berasal dari agama Nasrani, dan bahkan ada yang
berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dan agama Nasrani.
Selanjutnya
adalah sikap tawakkal kepada Allah dalam soal penghidupan terlihat pada peranan
syaikh yang menyerupai pendeta, bedanya pendeta dapat menghapus
dosa; selibasi, yaitu menahan diri tidak kawin karena kawin dianggap dapat
mengalihkan perhatian diri dari Khalik, dan penyaksian, di mana sufi dapat
menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah.
b.
Unsur Yunani
Kebudayaan
Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia, di mana perkembangannya
dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada Daulah Abbasiyah, metode
berpikir filsafat Yunani ini juga telah ikut memengaruhi pola berpikir sebagian
orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan.
Pada
persoalan ini, bisa jadi tasawuf yang terkena pengaruh Yunani adalah tasawuf
yang kemudian diklasifikasikan sebagai tasawuf yang bercorak filsafat. Hal ini dapat dilihat dari pikiran al-Farabi’, al-Kindi, Ibn Sina terutama dalam uraian mereka tentang
filsafat jiwa. Demikian juga pada uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibn Arabi, Suhrawardi, dan lain sebagainya.
Dari
paparan di atas dapat diartikan bahwa unsur Yunani yang masuk ke dalam filsafat
Islam dapat dilihat dari kebudayaan Yunani itu sendiri, yaitu kebudayaan
berfilsafat yang memang telah mendunia. Kebudayaan berfilsafat itupun masuk ke
dalam cara berfikir orang Islam sendiri. Dengan demikian unsur Yunani
(filsafat) ini, masuk ke dalam tasawuf Islam yang berupa tasawuf yang bercorak
filsafat.
Sebagaimana
ajaran Pythagoras yang mengatakan roh manusia bersifat kekal dan berada di
dunia sebagai orang asing. Jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh
yang sebenarnya adalah di alam samawi, dan manusia harus membersihkannya dengan
meninggalkan hidup materi untuk selanjutnya berkontemplasi. Ajaran inilah yang menurut pendapat sebagian orang, yang
memengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam.
c.
Unsur Hindu-Budha
Antara tasawuf dan sistem kepercayaan agama
Hindu dapat dilihat adanya hubungan seperti sikap fakir. Darwis Al-Birawi mencatat bahwa ada persamaan antara cara
ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu. Kemudian juga paham reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan ke badan yang lain), cara pelelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Salah satu maqomat Sufiah, yaitu “al-Fana” tampaknya ada persamaan dengan ajaran
tentang “Nirwana” dalam agama Hindu. Goldziher mengatakan bahwa ada persamaan antara Hinndu-Budha dan
Islam, contohnya adalah para sufibelajar menggunakan tasbih sebagaimana yang
dipakai oleh para pendeta Budha.
Hertmann menunjukkan bukti bahwa sumber tasawuf berasal dari India,
yaitu sebagai berikut:
1)
Kebanyakan
generasi awal sufibukan berasal dari Arab, seperti: Ibrahim bin Adam, Syaqiq
Al-Balkhi, Abu Yazid Al-Busthami.
2)
Kemunculan
dan penyebaran tasawuf untuk pertama kali adalah dari Khurasan.
3)
Padamasa
sebelum Islam, Turkistan merupakan pusat pertama berbagai agama dankebudayaan
Timur serta Barat. Ketika para penduduk kawasan itu memeluk agama Islam, mereka
mewarnainya dengan corak mistisme lama.
Namun, menurut Qomar Kailani ia menolak pendapat yang mengatakan
tasawuf berasal dari agaman Hindu-Budha. Ia menganggap pendapat-pendapat ini
terlalu ekstrim sekali karena kalau diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal
dari Hindu-Budha berarti pada zaman Nabi Muhammad telah berkembang ajaran
Hindu-Budha itu ke Makkah, padahal sepanjang sejarah belum ada kesimpulan
seperti itu.
d.
Unsur Persia
Sebenarnya antara Arab dan Persia itu sudah
ada hubungan semenjak lama yaitu hubungan dalam bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Akan tetapi belum ditemukan dalil yang
kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab.
Yang jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia itu terjadi melalui
ahli-ahli tasawuf di dunia ini. Namun barangkali ada persamaan antara
istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama Manu dan Mazdaq dan hakikat Muhammad menyerupai paham
Harmuz (Tuhan kebaikan) dalam agama Zarathustra.
Dan semua uraian ini dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya tasawuf
itu berasal dari ajaran Islam itu sendiri mengingat yang
dipraktikkan Nabi dan para sahabat. Hal ini dapat dilihat dari sumber-sumbernya. Semuanya berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi, tidak dipungkiri bahwa setelah
tasawuf itu berkembang menjadi pemikiran dia
mendapat pengaruh dari filsafat Yunani, Hindu, Persia, dan lain
sebagainya, dan hal ini tidak hanya terjadi dalam bidang tasawuf saja melainkan juga dalam bidang lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan maka
tidak ada alasan untuk ragu-ragu menerima ajaran tasawuf, atau menolaknya. Bahkan
jika boleh dikatakan bahwa tasawuf itulah sebenarnya inti ajaran Islam, dengan
berbagai pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, bahwa kehidupan yang kekal adalah kehidupan
di akhirat nanti yang kebahagiaannya amat bergantung kepada selamatnya rohani
manusia dan perbuatan dosa dan pelanggaran. Allah berfirman:
“Pada hari itu (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki
tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang
bersih” (QS.
Al-Syu’ara: 88-89)
Untuk mewujudkan rohani yang sehat sebagaimana diisyaratkan
dalam ayat tersebut, tasawuf berusaha untuk membersihkan hati dengan cara
menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa dan tidak mementingkan segala
sesuatu yang bersifat keduniaan seperti harta dan keluarga, karena kehidupan
akirat tidak membutuhkan semua itu, melainkan hati yang bersih dan iman yang
kuat.
Kedua, bahwa kebahagiaan yang hakiki dalam kehidupan
di dunia ini sebenarnya terletak pada adanya ketenangan batin yang dihasilkan
dari kepercayaan dan ketundukan pada Tuhan.
Banyaknya harta benda, pangkat, kedudukan dan
lain sebagainya sering membawa seseorang kepada kehidupan yang lupa diri, dan
terperosok ke lembah maksiat, jika tidak diarahkan oleh jiwa tasawuf. Sehingga
menghasilkan kegalauan batin. Sébaliknya banyak orang yang kehidupan ekonomi,
status sosial dan kedudukannya biasa-biasa saja, tapi kehidupannya terlihat
bahagia, tenang, disukai orang dan seterusnya yang disebabkan karena yang
bersangkutan menunjukkan jiwa dan sikap yang mulia yang dihasilkan dari
ketundukan dan ketakwaannya kepada Allah SWT.
Ketiga, bahwa dalam perjalanan hidupnya manusia akan
sampai pada batas-batas di mana harta benda, seperti tempat tinggal yang serba
mewah dan lain sebagainya tidak diperlukan lagi, yaitu pada saat usianya sudah
lanjut yang ditandai dengan melemahnya fisik, kurang berfungsinya pencernaan
makanan, kurang berfungsinya panca indera, dan kurangnya selera terhadap
berbagai kemewahan. Pada
saat seperti ini manusia tidak ada jalan lain kecuali dengan lebih mendekatkan
diri pada Tuhan, tempat ia harus mempertanggung jawabkan amalnya kelak apabila
telah meninggalkan dunia dan kenuju kekehidupan akirat.
Keempat, dalam suasana kehidupan modern yang dibanjiri oleh
berbagai paham sekuler seperti materialisme (memuja materi), hedonisme (memuja, kepuasan
nafsu), vitalisme (memuja keperkasaan), dan sebagainya, sering menyeret manusia kepada kehidupan yang penuh persaingan,
rakus, boros, saling menerkam, dan lain sebagainya. Keadaan tersebut semakin
diperburuk dengan munculnya berbagai produk budaya yang negatif mulai dari makanan dan obat-obat terlarang, hiburan yang
melupakan diri, pakaian yang
mengundang syahwat, tempat-tempat pelacuran, dan sebagainya.
Dari paparan tersebut dapat kita ambil
akibatnya, yaitu memberi pengaruh negatif terhadap generasi muda. Untuk
mengatasi masalah ini, tentunya banyak membutuhkan pemikiran, biaya, tenaga, waktu dan
yang tidak sedikit. Namun, tasawuf dapat menjadi
salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut secara
ekonomis, tetapi hasilnya cukup efektif.
C. Manfaat Tasawuf
1. Membersihkan
Hati dalam Berinteraksi dengan Allah
Bentuk interaksi manusia dengan Allah adalah
ibadah, ibadah tidak akan mencapai sasaran apabila hati tidak besih dengan
melupakan Allah SWT. Sementara itu, esensi tasawuf adalah tazkiyatun nafs yang
artinya membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran. Dengan bertasawuf hati orang
akan menjadi bersih sehingga dalam berinteraksi kepada Allah akan menemukan
kedamaian hati dan ketenangan jiwa.
2. Membersihkan
Diri dari Pengaruh Materi
Dalam pembahasan ini tasawuf juga dapat
dikatakan bermanfaat untuk membersihkan diri dari pengaruh-pengaruh negatif
duniawi yang mengganggu jiwa manusia. Pada hakikatnya manusia memiliki jasad
dan ruh. Jasad manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhannya di dunia, dan ruh
pun juga memiliki hak ketenangan. Agar keduanya seimbang, pemenuhan jasad
manusia tidaklah semata-mata untuk memenuhi nafsu, tetapi dimaksudkan untuk
lebih mendekatkan diri kepada Allah agar rohani pun merasakan ketenangan.
3. Menerangi
Jiwa dari Kegelapan
Tidak sedikit orang yang ketika ingin
mendapatkan harta benda atau kekayaan dilakukan dengan jalan yang tidak halal,
yaitu menjadikan mereka gelap mata. Misalnya, korupsi, pemerasan, suap dan
cara-cara lain yang tidak terpuji. Tindakan seperti ini membuat hati seseorang
menjadi gelap, kemudia keras dan sulit menerima kebenaran agama.
Timbullah keresahan, patah hati, cemas, dan
serakah. Semua penyakit hati ini dapat disembuhkan dengan ajaran agama,
khususnya yang berhubungan dengan hati nurani atau jiwa, yaitu tasawuf.
4. Memperteguh
dan Menyuburkan Keyakinan Agama
Keteguhan hati tidak dapat dicapai tanpa adanya
siraman jiwa. Jadi peranan siraman jiwa di sini amatlah penting. Banyak manusia
yang tenggelam dalam menggapai kebahaiaan duniawi yang serba materi dan tidak
lagi mempedulikan masalah spiritual. Pada akhirnya paham-paham tersebut membawa
kehampaan jiwa dan menggoyahkan sendi-sendi keimanan. Jika ajaran tasawuf
diamalkan oleh seorang muslim, ia akan bertambah teguh keimanannya dalam
memperjuangkan agama Islam.
5. Mempertinggi
Akhlak Manusia
Jika hati seseorang suci, bersih, serta selalu
disinari oleh ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka akhlaknya pun baik. Hal
ini sejalan dengan ajaran tasawuf yang menuntun manusia untuk menjadi pribadi
muslim yang memiliki akhlak mulia dan dapat menghilangkan akhlak tercela.
Aspek moral adalah aspek yang terpenting dalam
kehidupan manusia. Apabila manusia tidak memilikinya, turunlah martabatnya dari
manusia menjadi binatang. Dalam akidah, jika seseorang melanggar keimanan ia
akan dihukum kafir. Di dalam fikih, apabila seseorang melanggar hukum
dianggap fasik atau zindik. Adapun dalam akhlak, apabila
seseorang melanggar ketentuan, maka dinilai telah berlaku tidak
bermoral.
Oleh
karena itu, mempelajari dan mengamalkan taawuf sangat tepat bagi kaum muslim
karena dapat mempertinggi akhlak, baik dalam kaitan interaksi antara manusia
dan Tuhan (hubungan vertikal, yaitu hablun minallah) maupun interaksi
antara sesama manusia (hubungan horizontal, yaitu hablun minannas).