Pages

CONTOH LAPORAN TAKHRIJ HADIS

   

LAPORAN TAKHRIJ HADIS


1.        Penelusuran Hadis
Hadis yang akan ditelusuri adalah sebagai berikut:
إن شر الناس منزلة عند الله من تركه أو ودعه الناس اتقاء فحشه 
Sesungguhnya seburuk-buruk orang adalah yang ditinggalkan manusia atau yang dihindari karena khawatir dengan kejahatannya

Melalui penelusuran di Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Hadis dengan menggunakan kata kunci  ترك, hadis ini terdapat dalam Juz 1 halaman 269:
Melalui penelusuran di Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Hadis dengan menggunakan kata kunci فحشه , hadis ini terdapat dalam Juz 5 halaman 79:
Melalui penelusuran di Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Hadis dengan menggunakan kata kunci شر, hadis ini terdapat dalam Juz 3 halaman 84:

Pembagian Hadis Berdasarkan Kuantitas Sanad Periwayatnya

ada di link ini
https://docs.google.com/presentation/d/1jGQzoWVVOew9vKwv4S2anB6VVbEBQaUd4VzGFbTUpq0/edit?usp=sharing

MAKALAH TASAWUF ARTI, ASAL-USUL, Dan MANFAAT TASAWUF Dalam ISLAM

 

BAB II
PEMBAHASAN
 
A.       Pengertian Tasawuf
1.    Secara Etimologi
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau bahasa istilah yang di hubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution misalnya, menyebutkan 5 istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah) atau orang yang ikut pindah dengan nabi dari mekah ke madinah, saf  (barisan), sufi (suci), sophos (bahasa Yunani: hikmah), dan suf  (kain wol).[1]
Dari lima istilah ini, seluruhnya bisa saja dihubungkan dengan tasawuf. Pertama, Ahl al-suffah (orang yang ikut pindah dengan nabi dari mekkah ke madinah) misalnya, menggambarkan keadaan orang yang mencurahkan jiwa dan raganya, harta benda dan lain sebabagainya hanya untuk Allah SWT. Mereka ini rela meninggalkan kampung halamannya, rumah, dan kekayaan maupun harta benda lainnya di Mekah untuk hijrah bersma nabi ke Madinah. Tanpa adanya unsur iman dan kecintaan pada Allah SWT. tidak mungkin mereka melakukan hal yang demikian.
Kedua, kata shaf (صف ), makna shaf ini dinisbahkan kepada orang-orang yang ketika shalat selalu beradadi saf yang paling depan.[2] Dari paparan ini menggambarkan bahwa orang yang selalu berada dibarisan terdepan dalam beribadah kepada Allah SWT. dan melakukan amal kebajikan (amal shalih).
Ketiga, kata shufi ( صفى ), yang berarti suci. Hampir sama dengan kata shafa, yang berarti nama bagi orang-orang yang bersih atau suci.[3] Dari paparantersebut berari bahwa kata ini menggambarkan orang yang selalu memelihara dirinya dari perbuatan dosa dan maksiat, serta orang-orang yang menyucikan dirinya di hadapan Tuhan-nya.
Keempat, kata shuf (صوف ), yang bermakna bulu domba atau wol.[4] Shuf menggambarkan orang yang hidup sederhana dan tidak mementingkan kehidupan dunia atau yang sering disebut dengan zuhud.
Kelima, adalah istilah kata shophos berasal dari bahasa Yunani, atau saufi yang berarti hikmah.[5] Dari kata ini tasawuf menggambarkan keadaan jiwa seseorang yang senantiasa cendrung kepada kebaikan dan kebenaran.
Dari segi kebebasan (linguistik) ini dapat dipahami bahwa tasawuf adalah keadaan jiwa seseorang yang selalu berusaha memelihara kesucian diri, ibadah, kehidupan yang sederhana atau jauh dari kemegahan dan kemewahan, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu berusaha bersikap bijaksana. Sikap mental seperti ini pada hakikatnya dapat dikatakan sebagai ahlak yang mulia.
2.    Secara Terminologi
Pengertian tasawuf dari segi istilah, banyak sekali para ahli yang mengungkapkan pendapat mereka mengenai tasawuf secara istilah ini.  Pendapat para ahli bergantung kepada sudut pandang yang digunakannya masing-masing. Sehingga menimbulkan sedikit perbedaan dalam mengartikannya, namun intinya adalah sama.
Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia yang terbatas, manusia yang harus berjuang, dan manusia sebagai mahluk yang ber-Tuhan. Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai mahluk yang terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.[6]
Selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai mahluk yang harus berjuang, maka taswuf didefinisikan sebagai upaya diri untuk memindah ahlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.[7]
Dan jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai mahluk yang ber-Tuhan, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (ke-Tuhan-an) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Pendapat mengenai makna tasawuf oleh beberapa ahli akan dipaparkan sebagai berikut:
a.    Syekh Junaidi Al-Baghdad berkata:
“Tashawwuf adalah hendaknya keadaanmu beserta Allah tanpa adanya peratara”.[8]
Dari ungkapa ini dapat diartikan bahwa tasawuf adalah ilmu yang  berusaha agar seseorang menghadap Allah tanpa ada perantara di antara keduanya. Sehingga ia merasa tenang berhapan dengan Allah SWT. yang ia cintai dengan langsung tanpa penghalang.
b.    Muhammad Ali A-Qassab
“Tasawuf adalah akhlak mulia yag timbul pada waktu mulia dari seorang yang mulia di tengah-tengah kaumnya yang mulia pula”.[9]
c.    Ibnu Khaldun
“Tashawwuf adalah semacam ilmu syari’at yang timbul kemudian di dalam agama, asalnya adalah bertekun beribadah dan memutuskan pertaliannya dengan segala selain Allah, hanya menghadap Allah semata, menolak hiasan-hiasan dunia serta membenci perkara-perkara yang selalu memperdaya orang banyak, kelezatan harta benda dan kemegahan, dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah”. [10]
Dari paparan di atas dapat diartikan bahwa tasawuf adalah suatu ilmu syari’at yang timbul akibat adanya ketekunan seseorang dalam beribadah, meninggalkan kesenangan dunia dan selalu berusaha mendekatkan diri pada Allah SWT. dengan melakukan amalan-amalan shalih.
Jika definisi taswuf tersebut di atas satu dengan lain nya dihubungkan, maka segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat kepada Allah SWT. Dengan kata lain, tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan, dengan pengamalan lahir maupun batin. Inilah esensi atau hakikat tasawuf yang sesungguhnya.
B.       Asal Usul Tasawuf
Tentang asal usul atau sejarah tasawuf, kini semakin banyak orang yang menelitinya. Misalnya adalah Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-Taftazani, beliau sudah mengulasnya cukup lengkap. Menurutnya, sejak permulaan abad ke-19 sampai akhir-akhir ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan orientalis tentang asal usul tasawuf. Ada sebagia yang beranggapan bahwa tasawuf berasal dari Masehi (Kristen); ada juga yang mengatakan berasal dari unsur Hindu-Budha, unsur Persia, unsur Yunani, unsur Arab, dan sebagainya.[11]
Asal usul tasawuf dari kalangan para orientalis Barat biasanya di jumpai pendapat yang mengatakan bahwa sumber/asal yang membentuk tasawuf itu ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi (agama Nasrani), unsur  Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia.[12] Asal usul dari tasawuf ini dapat diperkecil lagi menjadi dua unsur, yaitu unsur Islam dan unsur di luar Islam. Kelima unsur ini secara ringkas dapat di jelaskan sebagai berikut:
1.    Unsur Islam
Menurut Hamka dalam bukunya “Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad” menyimpulkan bahwasannya tasawuf  Islam telah tumbuh sejak tumbuhnya agama Islam itu sendiri. Bertumbuh di dalam jiwa pendiri Islam itu sendiri, yaitu Nabi Muhammad SAW., yang sumbernya diambil dari Al-Qur’an itu sendiri[13].
Ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan kehidupan bersifat batiniah, pada dasar yang bersifat batiniah itulah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapatkan perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan al-Sunnah serta peraktik kehidupan Nabi dan para sahabat nya.
Unsur kehidupan tasawuf yang terlahir dari sifat batiniyah banyak dibicarakan dalam Al-Qur’an. Pembicaraan tentang batiniyah tersebut dapat berupa; pertama, tentang kemungkinan manusia dengan Tuhan  dapat saling mencintai (mahabbah), sebagaimana firman Allah SWT. berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui”. (QS. Al-Maidah: 54)

Kedua, perintah agar manusia senantiasa bertaubah, membersihkan diri dan menohon ampunan kepada Allah SWT. sebagaimana firman-Nya berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."
(QS. Tahrim: 66)

Ketiga, pentunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan dimana pun ia berada. Sebagaimana firman Allah SWT. berikut ini:
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 110)

Keempat, Tuhan dapat memberikan cahaya yang kepada orang yang dikehendaki-Nya, sebagaimana disebutkan Allah dalam ayat berikut:
“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nur: 35)

Kelima, Al-qur’an mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda. Allah SWT. berfirman:
“Hai manusia, Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” (QS. Al-Fatir: 5)
Sejalan dengan apa yang dibicarakan Al-qur’an di atas, Al-sunnah pun banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah, contoh haditsnya adalah sebagai berikut:
“Senantiasalah seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunat sehingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku mencintainya maka jadilah Aku pendengarannya yang dia pakai untuk melihat dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berusaha; maka dengan Ku-lah dia mendengar, melihat, berbicara, berpikir, meninju dan berjalan.”

Dari hadis di atas memberi petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan bisa bersatu. Diri manusia bisa lebur dalam diri Tuhan, yang selanjutnya dikenal dengan istilah al-Fana’, yaitu fananya makhluk sebagai yang mencintai kepada diri Tuhan sebagai yang dicintai.
Contoh dari tasawuf adalah  di dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. sendiri. Di dalam diri beliau juga terdapat petunjuk yang menggambarkannya sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira’ menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan di mana waktu itu orang Arab terbenam di dalamnya, seperti dalam praktik perdagangan yang menggunakan segala cara yang menghalalkan.[14]
Selama di Gua Hira yang ia kerjakan hanyalah tafakkur, beribadah dan hidup sebagai seorang yang zahid. Beliau hidup sederhana, terkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak memakan makanan atau meminum minuman kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah SWT, sehingga Siti Aisyah, istri beliau bertanya: “Mengapa Engkau berbuat begini ya Rasulullah, sedangkan Allah senantiasa mengampuni dosamu. Nabi menjawab, Apakah engkau tidak ingin agar aku menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah.
Dikalangan para sahabat pun ada pula orang yang mengikuti praktik bertasawuf sebagaimana yang diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar Ash-Shiddiq misalnya berkata: “Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan, kefanaan dalam keagungan dan rendah hati.
Demikian pula khalifah Umar Ibn Khattab pada suatu ketika pernah berkhutbah di hadapan jamaah kaum muslimin dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana. Selanjutnya khalifah Usman Ibn ‘Affan banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan membaca Al-Qur’an, Baginya Al-Qur’an ibarat surat dan kekasih yang selalu dibawa dan dibaca ke manapun ia pergi. Demikian pula sahabat-sahabat lainnya seperti Abu Dzar al-Ghiffari, Tamin Darmy, dan Huzaifah al-Yamani.
Dari paparan informasi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa munculnya tasawuf di kalangan umat Islam bersumber pada dorongan ajaran Islam, praktek Rasulullah SAW. dan para sahabat beliau, serta faktor situasi sosial dan sejarah kehidupan masyarakat pada umumnya.
2.    Unsur Luar Islam
Asal usul atau sumber sejarah tasawuf ada yang berasal dari luar Islam, secara akademik hal ini bisa saja diterima, namun secara akidah perlu kehati-hatian.
Para orientalis Barat menyimpulkan bahwa adanya unsur luar Islam masuk ke dalam tasawuf itu disebabkan karena secara historis agama-agama tersebut telah ada sebelum Islam, bahkan banyak dikenal oleh masyarakat Arab yang kemudian masuk Islam. Akan tetapi, kita dapat mengatakan bahwa boleh saja orang Arab terpengaruh oleh agama-agama tersebut, namun tidak secara otomatis memengaruhi kehidupan tasawuf, karena para penyusun ilmu tasawuf atau orang yang kelak menjadi sufi itu bukan berasal dan mereka itu.
Unsur-unsur luar Islam yang diduga memengaruhi tasawuf dalam Islam tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a.    Unsur Masehi (Kristen/Nasrani)
Mereka yang beranggapan bahwa tasawuf berasal dari unsur Nasrani mendasarkan argumentasinya pada dua hal: Pertama, adanya suatu interaksi antara orang-orang Arab dan kaum Nasrani pada masa Jahiliyah maupun zaman Islam. Kedua, adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para asketis atau sufi dalam hal ajaran serta cara mereka melatih jiwa dan mengasingkan diri dengan kehidupan Al-Masih dan ajaran-ajarannya serta dengan para rahib ketika sembahyang dan berpakaian.[15]
Dari paparan di atas dapat diartikan bahwa unsur Nasrani ini berpengaruh dengan tasawuf Islam didasarkan pada interaksi antara Nasrani dan bangsa Arab pada zaman Jahiliyah pada kala itu. Interaksi-interaksi tersebut melahirkan adanya saling ketertarikan, baik dari bangsa Arab maupun Nasrani. Ketertarikan ini memunculkan adanya orang Arab yang sangat menyukai cara kependetaan, khususnya dalam hal latihan jiwa dan ibadah, serta dalam berpenampilan/berpakaian.
Atas dasar ini tidak mengherankan jika Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf  adalah buah dan unsur agama Nasrani yang terdapat pada zaman Jahiliyah. Hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziher yang mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam adalah merupakan cabang dari agama Nasrani.
Unsur-unsur tasawuf yang diduga memengaruhi tasawuf Islam adalah sikap fakir. Menurut keyakinan Nasrani bahwa Isa bin Maryam adalah seorang yang fakir, dan Injil juga disampaikan kepada orang fakir, sebagaimana beliau pernah berucap dalam Injil Matius, “Beruntunglah kamu orang-orang miskin karena bagi kamulah kerajaan Allah, beruntunglah kamu orang yang lapar karena kamu akan kenyang.”[16]
Selanjutnya Noldicker mengatakan bahwa pakaian wol kasar yang kelak digunakan para sufi sebagai lambang kesederhanaan hidup adalah merupakan pakaian yang biasa dipakai oleh para pendeta. Sedangkan Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf itu berasal dari agama Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dan agama Nasrani.
Selanjutnya adalah sikap tawakkal kepada Allah dalam soal penghidupan terlihat pada peranan syaikh yang menyerupai pendeta, bedanya pendeta dapat menghapus dosa; selibasi, yaitu menahan diri tidak kawin karena kawin dianggap dapat mengalihkan perhatian diri dari Khalik, dan penyaksian, di mana sufi dapat menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah.
b.   Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia, di mana perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada Daulah Abbasiyah, metode berpikir filsafat Yunani ini juga telah ikut memengaruhi pola berpikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan.[17]
Pada persoalan ini, bisa jadi tasawuf yang terkena pengaruh Yunani adalah tasawuf yang kemudian diklasifikasikan sebagai tasawuf yang bercorak filsafat. Hal ini dapat dilihat dari pikiran al-Farabi’, al-Kindi, Ibn Sina terutama dalam uraian mereka tentang filsafat jiwa. Demikian juga pada uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibn Arabi, Suhrawardi, dan lain sebagainya.[18]
Dari paparan di atas dapat diartikan bahwa unsur Yunani yang masuk ke dalam filsafat Islam dapat dilihat dari kebudayaan Yunani itu sendiri, yaitu kebudayaan berfilsafat yang memang telah mendunia. Kebudayaan berfilsafat itupun masuk ke dalam cara berfikir orang Islam sendiri. Dengan demikian unsur Yunani (filsafat) ini, masuk ke dalam tasawuf Islam yang berupa tasawuf yang bercorak filsafat.
Sebagaimana ajaran Pythagoras yang mengatakan roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya adalah di alam samawi, dan manusia harus membersihkannya dengan meninggalkan hidup materi untuk selanjutnya berkontemplasi. Ajaran inilah yang  menurut pendapat sebagian orang, yang memengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam.
c.    Unsur Hindu-Budha
Antara tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu dapat dilihat adanya hubungan seperti sikap fakir. Darwis Al-Birawi mencatat bahwa ada persamaan antara cara ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu. Kemudian juga paham reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan ke badan yang lain), cara pelelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.[19]
Salah satu maqomat Sufiah, yaitu al-Fana tampaknya ada persamaan dengan ajaran tentang Nirwana dalam agama Hindu.[20] Goldziher mengatakan bahwa ada persamaan antara Hinndu-Budha dan Islam, contohnya adalah para sufibelajar menggunakan tasbih sebagaimana yang dipakai oleh para pendeta Budha.
Hertmann menunjukkan bukti bahwa sumber tasawuf berasal dari India, yaitu sebagai berikut:[21]
1)      Kebanyakan generasi awal sufibukan berasal dari Arab, seperti: Ibrahim bin Adam, Syaqiq Al-Balkhi, Abu Yazid Al-Busthami.
2)      Kemunculan dan penyebaran tasawuf untuk pertama kali adalah dari Khurasan.
3)      Padamasa sebelum Islam, Turkistan merupakan pusat pertama berbagai agama dankebudayaan Timur serta Barat. Ketika para penduduk kawasan itu memeluk agama Islam, mereka mewarnainya dengan corak mistisme lama.
Namun, menurut Qomar Kailani ia menolak pendapat yang mengatakan tasawuf berasal dari agaman Hindu-Budha. Ia menganggap pendapat-pendapat ini terlalu ekstrim sekali karena kalau diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu-Budha berarti pada zaman Nabi Muhammad telah berkembang ajaran Hindu-Budha itu ke Makkah, padahal sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.
d.   Unsur Persia
Sebenarnya antara Arab dan Persia itu sudah ada hubungan semenjak lama yaitu hubungan dalam bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Akan tetapi belum ditemukan dalil yang kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia itu terjadi melalui ahli-ahli tasawuf di dunia ini. Namun barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama Manu dan Mazdaq dan hakikat Muhammad menyerupai paham Harmuz (Tuhan kebaikan) dalam agama Zarathustra.[22]
Dan semua uraian ini dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya tasawuf itu berasal dari ajaran Islam itu sendiri mengingat yang dipraktikkan Nabi dan para sahabat. Hal ini dapat dilihat dari sumber-sumbernya. Semuanya berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi, tidak dipungkiri bahwa setelah tasawuf itu berkembang menjadi pemikiran dia mendapat pengaruh dari filsafat Yunani, Hindu, Persia, dan lain sebagainya, dan hal ini tidak hanya terjadi dalam bidang tasawuf saja melainkan juga dalam bidang lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan maka tidak ada alasan untuk ragu-ragu menerima ajaran tasawuf, atau menolaknya. Bahkan jika boleh dikatakan bahwa tasawuf itulah sebenarnya inti ajaran Islam, dengan berbagai pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, bahwa kehidupan yang kekal adalah kehidupan di akhirat nanti yang kebahagiaannya amat bergantung kepada selamatnya rohani manusia dan perbuatan dosa dan pelanggaran.[23] Allah berfirman:
“Pada hari itu (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS. Al-Syu’ara: 88-89)

Untuk mewujudkan rohani yang sehat sebagaimana diisyaratkan dalam ayat tersebut, tasawuf berusaha untuk membersihkan hati dengan cara menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa dan tidak mementingkan segala sesuatu yang bersifat keduniaan seperti harta dan keluarga, karena kehidupan akirat tidak membutuhkan semua itu, melainkan hati yang bersih dan iman yang kuat.
Kedua, bahwa kebahagiaan yang hakiki dalam kehidupan di dunia ini sebenarnya terletak pada adanya ketenangan batin yang dihasilkan dari kepercayaan dan ketundukan pada Tuhan.[24]
Banyaknya harta benda, pangkat, kedudukan dan lain sebagainya sering membawa seseorang kepada kehidupan yang lupa diri, dan terperosok ke lembah maksiat, jika tidak diarahkan oleh jiwa tasawuf. Sehingga menghasilkan kegalauan batin. Sébaliknya banyak orang yang kehidupan ekonomi, status sosial dan kedudukannya biasa-biasa saja, tapi kehidupannya terlihat bahagia, tenang, disukai orang dan seterusnya yang disebabkan karena yang bersangkutan menunjukkan jiwa dan sikap yang mulia yang dihasilkan dari ketundukan dan ketakwaannya kepada Allah SWT.
Ketiga, bahwa dalam perjalanan hidupnya manusia akan sampai pada batas-batas di mana harta benda, seperti tempat tinggal yang serba mewah dan lain sebagainya tidak diperlukan lagi, yaitu pada saat usianya sudah lanjut yang ditandai dengan melemahnya fisik, kurang berfungsinya pencernaan makanan, kurang berfungsinya panca indera, dan kurangnya selera terhadap berbagai kemewahan.[25] Pada saat seperti ini manusia tidak ada jalan lain kecuali dengan lebih mendekatkan diri pada Tuhan, tempat ia harus mempertanggung jawabkan amalnya kelak apabila telah meninggalkan dunia dan kenuju kekehidupan akirat.
Keempat, dalam suasana kehidupan modern yang dibanjiri oleh berbagai paham sekuler seperti materialisme (memuja materi), hedonisme (memuja, kepuasan nafsu), vitalisme (memuja keperkasaan), dan sebagainya, sering menyeret manusia kepada kehidupan yang penuh persaingan, rakus, boros, saling menerkam, dan lain sebagainya. Keadaan tersebut semakin diperburuk dengan munculnya berbagai produk budaya yang negatif mulai dari makanan dan obat-obat terlarang, hiburan yang melupakan diri, pakaian yang mengundang syahwat, tempat-tempat pelacuran, dan sebagainya.[26]
Dari paparan tersebut dapat kita ambil akibatnya, yaitu memberi pengaruh negatif terhadap generasi muda. Untuk mengatasi masalah ini, tentunya banyak membutuhkan pemikiran, biaya, tenaga, waktu dan yang tidak sedikit. Namun, tasawuf dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut secara ekonomis, tetapi hasilnya cukup efektif.

C.       Manfaat Tasawuf
1.    Membersihkan Hati dalam Berinteraksi dengan Allah[27]
Bentuk interaksi manusia dengan Allah adalah ibadah, ibadah tidak akan mencapai sasaran apabila hati tidak besih dengan melupakan Allah SWT. Sementara itu, esensi tasawuf adalah tazkiyatun nafs yang artinya membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran. Dengan bertasawuf hati orang akan menjadi bersih sehingga dalam berinteraksi kepada Allah akan menemukan kedamaian hati dan ketenangan jiwa.
2.    Membersihkan Diri dari Pengaruh Materi[28]
Dalam pembahasan ini tasawuf juga dapat dikatakan bermanfaat untuk membersihkan diri dari pengaruh-pengaruh negatif duniawi yang mengganggu jiwa manusia. Pada hakikatnya manusia memiliki jasad dan ruh. Jasad manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhannya di dunia, dan ruh pun juga memiliki hak ketenangan. Agar keduanya seimbang, pemenuhan jasad manusia tidaklah semata-mata untuk memenuhi nafsu, tetapi dimaksudkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah agar rohani pun merasakan ketenangan.
3.    Menerangi Jiwa dari Kegelapan[29]
Tidak sedikit orang yang ketika ingin mendapatkan harta benda atau kekayaan dilakukan dengan jalan yang tidak halal, yaitu menjadikan mereka gelap mata. Misalnya, korupsi, pemerasan, suap dan cara-cara lain yang tidak terpuji. Tindakan seperti ini membuat hati seseorang menjadi gelap, kemudia keras dan sulit menerima kebenaran agama.
Timbullah keresahan, patah hati, cemas, dan serakah. Semua penyakit hati ini dapat disembuhkan dengan ajaran agama, khususnya yang berhubungan dengan hati nurani atau jiwa, yaitu tasawuf.
4.    Memperteguh dan Menyuburkan Keyakinan Agama
Keteguhan hati tidak dapat dicapai tanpa adanya siraman jiwa. Jadi peranan siraman jiwa di sini amatlah penting. Banyak manusia yang tenggelam dalam menggapai kebahaiaan duniawi yang serba materi dan tidak lagi mempedulikan masalah spiritual. Pada akhirnya paham-paham tersebut membawa kehampaan jiwa dan menggoyahkan sendi-sendi keimanan. Jika ajaran tasawuf diamalkan oleh seorang muslim, ia akan bertambah teguh keimanannya dalam memperjuangkan agama Islam.
5.    Mempertinggi Akhlak Manusia[30]
Jika hati seseorang suci, bersih, serta selalu disinari oleh ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka akhlaknya pun baik. Hal ini sejalan dengan ajaran tasawuf yang menuntun manusia untuk menjadi pribadi muslim yang memiliki akhlak mulia dan dapat menghilangkan akhlak tercela.
Aspek moral adalah aspek yang terpenting dalam kehidupan manusia. Apabila manusia tidak memilikinya, turunlah martabatnya dari manusia menjadi binatang. Dalam akidah, jika seseorang melanggar keimanan ia akan dihukum kafir. Di dalam fikih, apabila seseorang melanggar hukum dianggap fasik atau zindik. Adapun dalam akhlak, apabila seseorang melanggar ketentuan, maka dinilai telah berlaku tidak bermoral.
Oleh karena itu, mempelajari dan mengamalkan taawuf sangat tepat bagi kaum muslim karena dapat mempertinggi akhlak, baik dalam kaitan interaksi antara manusia dan Tuhan (hubungan vertikal, yaitu hablun minallah) maupun interaksi antara sesama manusia (hubungan horizontal, yaitu hablun minannas).


[1] Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, hlm. 154.
[2] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 11.
[3] Ibid.
[4] Ibid., hlm. 12.
[5] Ibid.
[6] Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, hlm. 155.
[7] Ibid., hlm. 155-156.
[8] Labib Mz dan Moh. Al-‘Azizi, Tassshawwuf dan Jalan Hidup Para Wali, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2000), hlm. 12.
[9] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, hlm. 12.
[10] Labib Mz dan Moh. Al-‘Azizi, Tassshawwuf dan, hlm. 13.
[11] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, , hlm. 40.
[12] Akhlak Tasawuf, hlm. 156
[13] Labib Mz dan Moh. Al-‘Azizi, Tassshawwuf dan, hlm. 13.
[14] Akhlak Tasawuf, hlm. 158
[15] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, hlm. 40.
[16] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 113.
[17] AkhlakTasawuf, hlm. 161.
[18] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, hlm. 47.
[19] Ibid., hlm. 43.
[20] Ibid., hlm. 43-44.
[21] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hlm. 103.
[22] Akhlak Tasawuf, hlm. 162.
[23] Ibid., hlm. 164.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ibid., hlm. 165.
[27] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hlm. 84.
[28] Ibid.
[29] Ibid., hlm. 85.
[30] Ibid., hlm. 86.
 

Copyright © Nelly Agustin Education. Template created by Volverene from Templates Block
WP by Simply WP | Solitaire Online