A. Ilmu Fiqh
1. Pengertian Ilmu Fiqh
Dilihat dari sudut bahasa, fiqh berasal
dari kata faqaha, yang berarti “memahami” dan ”mengerti”. Sedangkan
dalam peristilahan syar’i, ilmu fiqh dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara
tentang hukum-hukum syar’i amali (praktis) yang penetapannya diupayakan
melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalilnya yang terperinci (baca: al-Tafshili)
dalam nash (Al-Qur’an dan Hadits).[1]
Hukum
syar’i yang dimaksud oleh definisi di atas adalah
segala perbuatan yang diberi hukumnya sendiri dan di ambil dari syari’at yang
dibawa oleh Rasulullah SAW. Adapun kata amali dalam definisi di atas,
dimaksudkan sebagai penjelasan bahwa lapangan pengkajian ilmu ini hanyalah yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf dan tidak termasuk dengan keyakinannya. Sedangkan
dalil-dalil yang terperinci maksudnya adalah dalil yang terpapar dalam nash
(AlQur’an dan Hadits), di mana hanya menunjukkan pada suatu hukum tertentu.
Dapat ditarik artian bahwa ilmu fiqh adalah
ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan mukallaf,
dan diambil dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili).
2.
Objek
Ilmu Fiqh
Yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu fiqh
adalah perbuatan mukallaf dilihat dari hukum syara’. Perbuatan tersebut
dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu ibadah, muamalah, dan
‘uqubah.[2]
Ibadah, yaitu segala sesuatu yang pokoknya berkaitan
dengan akhirat. Atau disebut juga habluminallah. Artinya segala
perbuatan yang dikerjakan dengan maksud mendekatkan diri pada Allah SWT, hanya
untuk Allah SWT, dan semata-mata mengharap ridha Allah SWT. Contohnya seperti
Rukun Islam (shalat, puasa, zakat, haji), membaca Al-Qur’an dan sedekah.
Sedangkan bagian muamalah, disebut juga
dengan habluminannas. Yaitu hubungan antar manusia. Biasanya berhubungan
dengan harta, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, amanah dan
harta peninggalan.
Bagian ‘uqubah mencakup segala persoalan
yang menyangkut tindak pidana, seperti pembunuhan, pencuruan, pemberontakan dan
lain-lain.[3]
Dapat dikatakan bahwa pada bagian ‘uqubah ini menyangkut pada permasalahan yang
kurang baik, merugikan, dan terhadap hak manusia yang terjadi dalam masyarakat,
sebagaimana tertera di atas.
Selain membicarakan permasalahan yang buruk di masyarakat,
bagian ‘uqubah juga membicarakan tentang hukum-hukum, seperti qiyas, had,
diyat, dan ta’zir.[4]
Hukum-hukum tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada
di dalamnya. Sehingga lengkaplah sudah, ada permasalahan dan ada pula
solusinya.
3.
Sejarah
Perkembangan Ilmu Fiqh
Para
ahli membagi sejarah perkembangan ilmu fiqh menjadi beberapa periode.[5]
Akan dijelaskan sebagai berikut:
Pertama,
periode pertumbuhan, dimulai sejak kebangkitan (bi’tsah)
Nabi Muhammad SAW. sampai beliau wafat (12 Rabi’ul Awwal 11 H/8 Juni 632 M).[6]
Di mana dalam periode pertumbuhan ini, Rasulullah SAW sendiri yang memulai
sejarah ilmu fiqh. Karena agama Islam turun melalui Nabi Muhammad SAW. Sejak Rasulullah
SAW. berada di Mekah hingga hijrah ke Madinah. Dimulai dengan sembunyi-sembunyi
dan terang-terangan, sampai akhirnya membentuk negara Islam. Dari aspek tauhid,
fiqh yang mendasar hingga yang berhubungan dengan tatanegara, hubungan antar
lain agama, dan lai sebagainya.
Adapun
sumber hukum dari periode ini adalah wahyu dari Allah SWT. yang diturunkan
kepada Rasulullah SAW. pada kala itu. baik yang kata-katanya dari Allah
(Al-Qur’an) maupun yang kata-katanya dari Rasululla (Hadits).
Kedua,
periode sahabat dan tabi’in, mulai dari khalifah pertama (khulafat
rasyidin) sampai pada Dinasti Amawiyyin (11 H-101 H/632 M-720 M). Pada masa
ini wilayah kekuasaan Islam semakin luas, dan bersamaan dengan itu juga agama
Islam semakin berkembng pesat.
Pada
masa periode ini, umat muslim telah memiliki dua sumber hukum Islam yang
lengkap, yaitu Al-Qur’an dan Hadits.[7]
Namun terjadi permaslahan-permasalahan yang belum pernah terjadi pada masa
Rasulullah. Sehingga para sahabat dituntut untuk memberikan fatwa atas permasalahan-permasalahan
tersebut. Sehingga selain kedua sumber yang telah ada, sumber hukum Islam pada
masa sahabat bertambah, yaitu ijtihad sahabat.
Ketiga, periode
kesempurnaan, yakni periode-periode imam mujtahid besar
dirasah Islamiyah pada masa keemasan bani Abbasiyah yang berlangsung selama 250
tahun (101 H-350 H/720 M-961 M).[8]
Periode ini disebut juga sebagai periode pembinaan dan pembukuan hukum Islam.[9]
Pada
periode ini fiqh Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat sekali. Terbukti
dengan adanya penulisan dan pembukuan hukum Islam yang dilakukan dengan
intensif, baik berupa penulisan hadits-hadits nabi, fatwa-fatwa para sahabat
dan tabiin, tafir Al-Qur’an, kumpulan pendapat imam-imam fiqh dan penyusunan
ilmu ushul fiqh.
Keempat,
periode kemunduran, sebagai akibat taklid dan kebekuan karena
hanya menyandarkan produk-produk ijtihad
mujtahid- mujtahid sebelumnya, yang dimulai pada pertengahan abad ke-4 H
sampai akhir abad ke-13 H, atau sampai terbitnya buku al-Majallat al-Ahkam
al-‘Adliyat tahun 1876 M.[10]
Periode
kemunduran ini berlangsung dalam waktu yang cukup panjang, yaitu sekitar
sembilan setengah abad. Penyebabnya selain dari akibat taklid dan kebekuan
karena hanya menyandarkan produk-produk ijtihad
mujtahid- mujtahid sebelumnya, tetapi juga akibat beberapa konflik
politik.
Antara
lain perebutan kekuasaan dikalangan keturunan khalifah dan konflik antar
kelompok-kelompok keagamaan (seperti Sunni an Syi’ah).[11]
Dengan adanya konflik dan ketegangan yang terjadi tersebut menyebabkan para
ulama menjadi lemah kemauan dan kegairahannya dalam mengkaji ajaran Islam
langsung dari sumber aslinya. Mereka merasa puas dengan hanya mengikuti
pendapat-pendapat yang telah ada.
Kelima, periode
pembangunan kembali, mulai dari terbitnya buku al-Majallat
al-Ahkam al-‘Adliyat sampai sekarang. Pada periode ini, umat Islam telah
menyadari betapa kemunduran dan kelemahan mereka telah berlangsung semakin
lama.
Ahli sejarah mencatat bahwa kesadaran itu
pertamakali muncul ketika Napoleon Bonaparte menduduki Mesur pada tahun 1798 M.
Kejatuhan Mesir ini menyadarkan umat Islam betapa lemahnya meek dan betapa di
Dunia Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman
bagi Dunia Islam. Kemudian, para raja dan pemuka Islam mulai berpkir bagaimana
meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Dari sinilah, kemudian
muncul gagasan dan gerakan pembaruan dalam Islam, baik dalam bidang pendidikan,
ekonomi, militer, sosial, dan gerakan intelektual lainnya.[12]
0 komentar:
Posting Komentar