Pages

Makalah Akidah Akhlak mengenai Taubat, Khauf dan Raja'

NELLY AGUSTIN
PAI


PEMBAHASAN
A.      Taubat
1.         Pengertian Taubat
Menurut Imam Al-Ghazali, pengertian taubat terhimpun dari tiga komponen, yaitu ilmu, keadaan (kondisi), dan perbuatan.[1]
Tiga komponen pengertian taubat ini saling berkaitan. Ilmu adalah pengetahuan, yaitu pengetahuan bahaya yang akan muncul dari adanya dosa. Di sisi lain, dosa dapat menjadi penghalang antara hamba dan Pencipta-nya yang ia cintai. Apabila seseorang telah mengetahui dan memahami hal ini dengan penuh keyakinan di dalam hati, maka akan muncul keadaan rasa sedih ketika sesuatu yang dicintai hilang dari dirinya. Dengan begiru ia akan merasa menyesal dan bertaubat, dalam artian dengan perbuatan. Baik tidak mengulangi dosa maupun dengan meminta maaf kepada orang yang telah ia zhalimi.
Definisi taubat menurut bahasa adalah kembali (rujuk). Dengan demikian, taubat diartikan  sebagai kembali dari yang dicela menuju sesuatu yang di puji.[2] Berserah diri pada-Nya dengan hati penuh penyesalan yang sungguh-sungguh. Hati menyesal akan perbuatan dosa yang kita lakukan itu menjadikan anggota-anggota lahir (mata, telinga, kepala, kaki, tangan, kemaluan) tunduk dan patuh dengan syariat yang Allah telah tetapkan dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan-perbuatan itu kembali.
Perintah taubat dan kaitannya telah di sebutkan dalam Al Quran sebanyak 87 kali. Kata ini di sebutkan begitu banyak yang berarti menunjukan kebesaran dari kebenaran taubat di sisi Allah.[3] Sebagai contoh adalah beberapa ayat berikut pengertiannya:
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. An-Nissa 31)
“Dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Hujurat: 11)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya)...”. (QS. At-Tahrim: 8)
Taubat adalah langkah pertama perjalanan menuju akhirat, modal bagi orang yang beruntung, kunci keistiqomahan pendamba akirat, tempat orang-orang terbaik muncul dan pilihan bagi hamba yang mendekatkan diri.[4] Tobat sendiri adalah kembalinya seorang hamba kepada Allah dan meninggalkan jalan orang-orang yang dimurka dan sesat. Sebagaimana yang terpaparkan di atas, apabila seorang hamba telah bertaubat, maka ia memiliki modal dan tiket keberuntungan selangkah menuju kebaikan akhirat (surga) dan juga pastinya sukses dunia, karena modal yang ia dapatkan brasal dari Allah; selalu istiqamah karena taubat yang ia lakukan adalah karena Allah semata, meskipun sedang merasa futur (melempem); menjadi orang yang terbaik karena selalu mendekatkan diri kepada-Nya.
2.         Syarat-Syarat Taubat
Syarat-syarat taubat ada dua bahagian, yaitu:
a.         Syarat taubat di atas dosa dan kesalahan dengan Allah
1)        Menyesali dengan sungguh-sungguh atas dosa-dosa yang telah dilakukan. [5] Yakni terasa menyesal, sedih, duka-cita, rasa tidak patut kerena melanggar syariat Allah. Ia harus mengingat apa yang di perbuatnya tahun demi tahun, bulan demi bulan, hari demi hari.
2)        Berazam/berjanji dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulangi lagi perkara-perkara yang menjadi larangan Allah tersebut.
3)        Meninggalkan perkara-perkara yang mendatangkan dosa-dosa dengan Allah sama ada dosa besar atau dosa kecil.
Syarat taubat ada tiga untuk dosa yang terkait hak Allah, yairu menyesali dosa, melepaskan diri darinya, dan bertekad tidak mengulanginya.[6]
Pertama, menyesali adalah tobat.[7] Demikianlah hadits Rasulullah yang di shahihkan oleh Al-Hakim. Seseorang yang bertaubat pasti menyesali dosa-dosanya. Apabila ia telah bertaubat namun tidak menyesali dosa/perbuatan buruknya, maka ia belum dikatakan bertaubat. Karena dengan demikian berarti ia masih melakukan perbuatan buruknya tersebut.
Kedua, melepaskan diri dari hal-hal buruk (dosa tersebut). Sebagaimana yang telah tertera di atas, taubat memang mustahil terwujud jika dosa tetap dilakukan. Selain itu juga memperbaiki kesalahan dengan cara menebar kebaikan dimuka bumi.[8] Dalam artian melakukan amalan-amalan shalih. Seperti menolong sesama, dimaksudkan untuk menumbuhkan ketetapan iman. Sebaliknya jika melakukan dosa hanya akan memperparah iman hingga iman bertambah tipis dan tidak kokoh lagi.
Ketiga, bertekad untuk tidak mengulanginya. Azam untuk tidak mengulangi perbuatan dosa haruslah benar-benar dibangun di atas keikhlasan dan keseriusan.[9] Bahkan sebagian ulama menambahkan syarat, tidak mengulangi perbuatan dosa. Dikatakan bahwa, “Ketika seseorang kembali melakukan dosa, hal ini menunjukkan bahwa ia keliru dan tidak benar”. Namun, manusiawi jika manusia tetap mengulangi kesalahan/dosa yang pernah dilakukannya kemudian bertaubat. Karena manusia adalah makhluk Allah yang banyak khilaf dan lupanya.
b.        Syarat taubat di atas dosa dan kesalahan dengan sesama manusia
1)        Menyesal sungguh-sungguh atas segala kesalahan yang dibuat terhadap orang lain tersebut. Benar-benar terasa di hati perasaan sedih, duka-cita dan rasa tidak patut atas perbuatanya.
2)        Meninggalkan perkara-perkara yang mendatangkan dosa dengan manusia.
3)        Berazam bersungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perkara-perkara yang mendatangkan dosa yang ada hubungan dengan manusia (mu’amaidh).
4)        Meminta maaf atau meminta ridho (halal) kepada orang yang kita telah berbuat dosa terhadapnya atau membayar ganti rugi atau memulangkan barang yang telah diambil.
Semetara itu dalam reverensi lain, untuk dosa yang berkenaan dengan hak sesama, maka orang yang bertaubat harus membenahi yang ia rusak atau meminta maaf  kepada orang yang telah ia zalimi.[10]
Dosa seperti ini memang mencakup dua hak, hak Allah dan hak manusia. Kepada Allah harus bertaubat dan kepada manusia harus meminta maaf atau mengganti kezaliman yang telah ia lakukan dengan kebaikan.
Berikut ini adalah macam syarat taubat secara ringkas:
1)        Penyesalan dari dosa karena Allah SWT.
2)        Berhenti melakukannya.
3)        Bertekad tidak mengulanginya di masa datang.
4)        Dilakukan sebelum ruh sampai ditenggorokan atau kiamat besar.
5)        Jika dosa yang berkaitan dengan hak manusia, maka harus meminta maaf dengan orang it dan meminta kerelaannya.
6)        Harus bertaubat atas sekuruh dosa yang diperbuat, tidak hanya bertaubat pada sebagian dosa saja.[11]
7)        Dosa yang berkaitan dengan hak orang lain tidak sah bertaubat darinya kecuali dengan menyerahkan keputusnnya kepada orang tersebut, seperti qishas, barang rampasan, dan berbagai macam denda serta hukuman atas tuduhan bohong.[12] Sebagaimana telah diterangkan Rasulullah SAW. dalam sabda beliau:
مَنْ كَانَ لأَ خِيْهِ عِنْدَ هُ مَظْلِمَةٌ مِنْ مَا لٍ وَعِرْضٍ فَلْيَتَلَّلْةُ ا لْىَؤْ مَ قَ
“Siapa yang memiliki tanggungan kezaliman berupa harta dan kehormatan pada saudaranya, hendaklah ia meminta dihalalkan pada hari ini sebelum (tibanya hari) tudak ada lagi dinar ataupun dirham, selain kebaikan dan keburukan.” (HR. Bukhari)

3.         Beberapa Kekeliruan dalam Taubat
Beberapa kekliruan dalam Taubat yang membuat sebab tidak di terimanya taubat[13] diantaranya adalah sebagai berikut:
a.        Di saat tanda kematian menghampiri ia baru menyesali masa lalunya dan menyatakan bertaubat. Sebagaimana berfirman Allah SWT. berikut pengertiannya: 
”Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang" dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih”. (QS. An-Nisa: 18)

b.        Bertobat yang tidak mengikuti syarat-syarat taubat
c.         Kafir  setelah keimananya.
 “Sesungguhnya orang orang kafir sesudah beriman kemudian bertambah kekafirannya, sekali kali dia tidak akan di terima taubatnya: dan mereka itulah orang orang yang sesat”. (QS Al Imran: 90)

4.         Tanda-Tanda Sah Taubat
Tanda sah taubat atau tanda diterimanya taubat kita oleh Allah SWT. dapat paparkan sebagai berikut:
a.        Setelah bertaubat kita akan menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Firman Allah SWT:
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun atas orang orang yang bertaubat , beriman, dan beramal soleh, kemudian tetap di jalan yang benar”. (QS. Taha: 82)
b.        Hatinya selalu dihiasi rasa takut kepada Allah, tidak pernah berpisah dengan-Nya siang dan malam sehingga ia mendengar malaikat berbicara  pada ketika mencabut nyawanya.
c.         Selalu menyesal kepada Allah, mengahap Allah dengan rasa malu, takut, dan hina.
d.        Merasa dan menyadari buruknya perbuatan dosa dan bahanya.
e.         Menjauhi dan meninggalkan kawan-kawan yang berperangai buruk kerena seseorang akan selalu mengikuti kebiasaan temanya. Firman Allah SWT. sebagai berikut:
“Dan Allah ingin menerima taubatmu, sedangkan orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran)” (QS. An Nisa : 27)

f.       Tidak meremehkan dosa kecil
g.      Melenyapkan segala sesuatu yang menjadi sebab terjadinya maksiat

B.       Khauf
1.         Pengertian Khauf
Al-khauf artinya takut, yang semakna dengan yakhsya[14]. Sebagaimana firman Allah SWT. berikut:
  
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-A’raaf: 56)

Takut merupakan sakit dan terbakarnya hati karena perkiraan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Rasa takutlah yang mencegah seluruh anggota tubuh melakukan kemaksiatan dan mengikatnya dengan ketaatan.[15]
Rasa takut dapat diartikan sebagai suatu kedisiplinan, apabila rasa takut yang berada di diri seseorang tidak sempurna atau lemah maka akan mendorong pada kelalaian dan sikap lancang melakukan dosa, sementara takut yang berlebihan akan menimbulkan rasa putus asa.
Takut yang dirasakan oleh seorang hamba pada Rabb-nya adalah karena ia telah mengenal Rabb-nya. Sehingga ia menjadi tahu apa yang disukai dan tidak disukai oleh Allah SWT. Apabila ia melakukan sesuatu yang Allah tidak suka, maka ia akan merasa takut akan murka Allah SWT, dan begitupun sebaliknya.
2.         Tingkatan Khauf
Tingkatan khauf tergantung pada kuatnya rasa takut seseorang. Kuatnya rasa takut seseorang diukur dari sejauh mana seseorang mengetahui aib diri dan mengenal keluhuran Allah, serta memohon pertolongan kepada-Nya.[16]
Dari paparan di atas dapat diartikan bahwa tingkatan rasa takut pada seorang hamba ada, atau muncul dan berkembang karena seseorang tersebut mengenali dirinya, baik perbuatan-perbuatan buruk dan dosa-dosa yang pernah ia lakukan; maupun mengenal Rabb-nya, yaitu kekuasaan Allah SWT.
Sebagaimana sabda Rasulullah berikut:
“Sungguh, aku paling mengenal Allah di antara mereka dan yang paling takut kepada-Nya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Tingkatan khauf seseorang ada dua, yaitu takut karena perbuatan dosa besar dan dosa yang kecil atau hal-hal yang dianggap sunnah dan makruh.
Pertama, takut karena telah melakukan dosa besar, artinya seseorang hanya merasa takut kepada Allah karena dosa besar yang telah ia lakukan. Sehingga ia mengira bahwa dosanya tersebut mustahil untuk diampuni Allah SWT. Namun untuk dosa-dosa kecil ia tidak merasa takut akan azab Allah.
Kedua, takut karena meninggalkan hal-hal sunnah atau karena melakukan dosa kecil. Ini adalah tingkatan takut yang jarang sekali dimiliki oleh seseorang. Tingkatan takut ini contohnya, seperti meninggalkan shalat sunnah, puasa sunnah, berbicara yang kurang bermanfaat, dan mengisi waktu-waktu luang dengan hal-hal yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Pada tingkatan ini seseorang takut akan teguran Allah, mengapa ia tidak menjalankan sunnah Nabi SAW. dan membuang waktunya secara sia-sia. Karena semua yang kita lakukan akan dipertanggung jawabkan di hari akhir kelak.
3.         Keutamaan Khauf
Allah menyatukan petunjuk, rahmat, ilmu, dan ridha-Nya untuk mereka yang takut pada-Nya.[17] Allah SWT. berfirman sebagai berikut:
“...petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. Al-A’raaf: 154)

“... Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya”. (QS. Al-Bayyinah: 8)

Allah juga berfirman memerintahkan para hamba untuk takut kepada-Nya, dan menjadikan rasa khauf sebagai syarat iman.
 
“Dan takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (QS. Al-Imran: 175)
Rasulullah SAW. bersabda, “Tidaklah masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah, hingga air susu masuk kembali ketempat semula.” (HR. Tirmizi)
“Tidak ada setetes air mata yang dicintai Allah kecuali setetes iar mata karena takut kepada-Nya atau tetes darah yang keluar dari jalan Allah”. (HR. Tirmidzi)
“Tujuh gologan yang dinaungi Allah ketika tidak ada naungan selain naungan-Nya, di antaranya seseorang yang mengingat Allah pada waktu sepi dan meneteskan air mata”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadits di atas dapat diartikan bahwa salah satu keutamaan khauf adalah Allah akan mencintai hamba yang merasa takut pada-Nya, dan Allah akan menaungi hamba-Nya pada saat tidak ada lagi naungan selain naungan-Nya pada hari kiamat kelak. Pada akhirnya Allah akan memasukkan orang-orang yang takut kepada-Nya dalam syurga-Nya.
Rasa takut seseorang jugatercermin dengan cara menangis. Sebagaimana perkataan Abu Sulaiman berikut:
“Menangis adalah buah dari rasa takut kepada Allah.”

C.      Raja’
1.         Pengertian Raja’
Raja’ atau berpengharap kepada Allah SWT.[18] adalah kegembiraan hati karena menantikan sesuatu yang dicintai. Akan tetapi sesuatu yang dicintai itu harus mempunyai sebab. Bilamana sebagian besar sebab-sebabnya telah terjadi, maka tepatlah dinamakan harapan. Apabila masih menunggu, sedangkan sebab-sebabnya telah lenyap, penamaan ghurur (ketertipuan atau ketololan) lebih tepat.[19]
Dapat diartikan bahwa harapan adalah rasa tenang dan senang, karena menunggu sesuatu yang kita cintai atau sukai, dengan kepercayaan yang mendalam bahwa sesuatu itu akan benar-benar terjadi karena beberapa sebab/syarat raja’ telah berhasil terpenuhi oleh kita sebelumnya.
Perumpamaan raja’ adalah seperti seseorang yang menebar benih yang baik, di tanah yang subur, diberi pupuk pada waktunya dan pengairan yang baik, membersihkan rumput dan duri yang mengganggunya, lalu menantikan karunia Allah agar menghalau badai dan petir yang akan merusak tanamannya hingga sampai waktunya memanen, penantian seperti inilah yang dinamakan harapan.
Raja’ bermakna harapan kepada Allah, bukan al-tamanniy yang berarti berangan-angan yang tidak mungkin sampai pada tujuannya.[20] Seperti seseorang yang menebar benih yang tidak baik, di tanah yang yang keras, kering, tandus, tanpa perawatan sedikitpun, lalu seseorang tersebut menunggu hasil panennya, yang seperti ini bukanlah harapan.
Al-raja’ bermakna harapan yang penuh kepada Allah agar keputus-asaan menjadi hilang dari sanubarinya.[21] Al-raja’ lawan dari ad-ya’su artinya berputus asa dari rahmat Allah.  Allah telah berfirman yang berbunyi sebagai berikut: 
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS. Al-Baqarah: 218)

Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir". (QS. Yusuf; 87)

Contoh dari raja’ adalah sebagaimana hasil raja’ Nabi Ya’kub yang sangat kuat, hingga dipertemukan kembali pada Nabi Yusuf, setelah bertahun-tahun berharap kepada Allah, dengan selalu mencari anaknya dan harapan yang tak pernah putus-putus (putus asa), sebagaimana  firman di atas.
Dari keseluruhan paparan di atas, dapat diartikan bahwa raja’ adalah suatu sikap yang tertanam dalam jiwa seseorang yang penuh harapan, atau yang bermakna semangat yang tinggi dalam meraih harapan untuk mendapatkan sesuatu. Raja’ juga dimaknai dengan rasa optimisme, hati yang penuh harapan, yakin usahanya akan sampai ketujuan sebagaimana yang diharapkannya. Optimisme terhadap Allah di mana pikiran dan hati selalu ingin dekat kepada-Nya. Karena kedekatan rahmat Allah kepada manusia adalah sesuai dengan dugaannya dan prasangkanya.
2.         Keutamaan Raja’
Dengan berpengharapan kepada Allah, seseorang akan mendapatkan ampunan dari-Nya. Sebesar apapun dosa seorang hamba pada Rabb-nya, pastilah Allah akan mengampuninya, terkecuali syirik. Sebagaimana firman Allah SWT. berikut ini:
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Az-Zumar: 53)

“...Sesungguhnya Rabb-mu benar-benar mempunyai ampunan dan hukuman yang pedih.” (QS. Fushilat: 43)
Rasulullah SAW. bersabda yang berbunyi sebagai berikut:
“Anas bin Malik berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda, “Wahai anak Adam, sesungguhnya selama kamu bermohon kepada-Ku dan ber-raja’ kepada-Ku, Aku pasti mengampunimu atas segala keadaanmu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, kalaulah dosa-dosamu mencapai langit kemudian kamu memohon ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu. Wahai anak Adam, jika sekiranya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa atau kesalahan sebanyak isi bumi tetapi kamu tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku akan datang dengan ampunan sebanyak isi bumi pula. (HR. Tirmidzi)

Keutamaan raja’ yang lainnya adalah rasa takut akan lebih menguatkan hati dan lebih mencintai Allah. Dzat tempat ia melabuhkan segala harapannya.[22] Sehingga apabila ia akan meninggalkan dunia pasti berharap berada dalam kecintaan pada Allah, agar ia merasa senang ketika perjumpaan dengan-Nya. Maka keutamaan rasa harap di siniadalah lebih menguatkan hati dan lebih mencintai Allah.
D.      Menghimpun Khauf dan Raja’
Menghimpun khauf dan raja’, artinya adalah menyatukan antara khauf dan raja’. Pada dasarnya khauf dan raja’ memanglah selalu bersama, saling melengkapi dan sulit untuk dipisahkan.
Dapat dikatakan harapan yang menempati hati sanubari seringkali bertemu dengan al-khauf. Apabila al-raja dan al-khauf bertemu, maka yang muncul adalah harap dan cemas. Keduanya mesti tertuju kepada Allah, berharap agar Allah mencintainya dan mengabulkan permintaannya, sedangkan khauf (munculnya sikap cemas) manakala Allah membencinya karena ia tidak mentaati Allah.
Setiap orang yang ber-raja’ pastilah ia orang yang ber-khauf (takut). Sebagaimana firman Allah SWT.
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-A’raaf: 56)

Dari dalil di atas telah tampak contoh dari khauf dan raja’. Ketika seseorang berdoa maka ia akan berdoa dengan rasa harap agar doanya diterima dan dikabulkan Allah, kemudian ia pun juga merasa takut/cemas bahwa doanya tersebut tidak akan dikabulkan dan diterima oleh Allah.
Nabi SAW. masuk kepada seorang laki-laki yang sedang mengalami sekarat, lalu beliau berkata, “Bagaimana perasaanmu? Orangitu menjawab, aku merasa taku atas segala dosa-dosaku dan mengharap rahmat Tuhan-ku.” Maka Nabi SAW. bersabda:
“Tidaklah kedua perasaan itu berkumpul dalam hati seorang hamba di tempat ini, melainkan Allah Ta’ala memberinya apa yang diharapkannya dan mengamankannya dari apa yang ditakutinya.”[23]

Telah jelaskan dalan sabda Rasulullah SAW. di atas bahwa rasa takut saja tidaklah cukup, namun harus juga dibarengi dengan rasa harap kepada Allah SWT.
Setiap orang yang berharap untuk mendapat hal yang menyenangkan, maka ia takut kehilangannya. Karena apabila ia tidak takut kehilangan, berarti ia tidak menyukainya dan apabila ia tidak menyukainya, maka ia tidak berharap untuk mendapatkannya.
Abu QasimAl-Hakim bertutur, “Siapa yang takut terhadap sesuatu ia akan lari darinya. Tetapi siapa yang takut kepada Allah ia justru lari untuk mendekati-Nya”.[24] Rasa takut akan membawa seseorang untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah dan membuat ia berharap supaya Allah pun akan mendekatinya dan mencintainya.
Kauf dan raja bagaikan roti dan air yang sama-sama sangat penting bagi manusia. Keduanya bagaikan dua bagian yang tidak dapat dipisahkan. Roti sangat berguna bagi orang yang kelaparan, sedangkan air sangat berguna bagi orang yang kehausan. Bagaimana jadinya jika hanya ada air, maka orang yang kelaparan akan tetap merasa lapar. Begitu juga sebaliknya, apabila hanya ada roti, maka orang yang kehausan akan tetap merasa haus meskipun telah memakan roti.
Demikianlah perumpamaan khauf dan raja’ yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Karena dalam kehidupan manusia pasti mengalami yang namanya haus dan lapar, yaitu penyakit hati. Khauf dan raja’ sebagai obatnya. Penyakit merasa tenang dari azab Allah maka obatnya adalah khauf. Sedangakan penyakit putus asa dan pasrah adalah raja’.


[1] Sa’id Hawwa, Tazkiyatun Nafs Intisrti Ihya Ulumuddin, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), hlm. 414.
[2] Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara Al Ghazali dan Ibnu Taimiyah, (Jakarta: Khalifa, 2005), hlm. 111.
[3] Husain Ansariyan, Tobat, (Jakarta: Citra, 2012), hlm. 80.
[4] Ahmad Farid, Tazkiyatun Nafs, (Kartasura Solo: Taqiya Publishing, 2015), hlm. 191.
[5] Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Op. Cit.,, hlm. 11.
[6] Ahmad Farid, Op. Cit.,, hlm. 193.
[7] Ibid.
[8] Amin Syukur, Tasawuf Konstektual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 36.
[9] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Dkk, Tazkiyatun Nafs, (Solo: Pustaka Arafah, 2014), hlm. 173.
[10] Ahmad Farid, Op. Cit., hlm. 194.
[11] Nashihin Nizhamudin, Modul Tarbiyah Islamiyah, (Jakarta: Robbani Press, 2009), hlm. 286.
[12] Imam Al-Ghazali, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm. 353.
[13] Husain Ansariyan, Op. Cit., hlm. 89.
[14] Nasharuddin, Akhlak (Ciri Manusia Paripurna), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2015), hlm. 439.
[15] Ahmad Farid, Op. Cit., hlm. 161.
[16] Ibid.
[17] Ahmad Farid, Op. Cit., hlm. 164.
[18] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Dkk, Op. Cit., hlm.139.
[19] Imam Al-Ghazali, Op. Cit.., hlm. 361.
[20] Nasharuddin, Op. Cit., hlm. 437.
[21] Ibid., hlm. 433.
[22] Sa’id Hawwa, Op. Cit., hlm. 371.
[23] Imam Al-Ghazali, Op. Cit., hlm. 363.
[24] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Dkk, Op. Cit., hlm. 149.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © Nelly Agustin Education. Template created by Volverene from Templates Block
WP by Simply WP | Solitaire Online