PAI
PEMBAHASAN
A.
Taubat
1.
Pengertian Taubat
Menurut Imam Al-Ghazali, pengertian taubat
terhimpun dari tiga komponen, yaitu ilmu, keadaan (kondisi), dan perbuatan.[1]
Tiga komponen pengertian taubat ini saling
berkaitan. Ilmu adalah pengetahuan, yaitu pengetahuan bahaya yang akan
muncul dari adanya dosa. Di sisi lain, dosa dapat menjadi penghalang antara
hamba dan Pencipta-nya yang ia cintai. Apabila seseorang telah mengetahui dan
memahami hal ini dengan penuh keyakinan di dalam hati, maka akan muncul keadaan
rasa sedih ketika sesuatu yang dicintai hilang dari dirinya. Dengan begiru ia
akan merasa menyesal dan bertaubat, dalam artian dengan perbuatan. Baik
tidak mengulangi dosa maupun dengan meminta maaf kepada orang yang telah ia
zhalimi.
Definisi taubat menurut bahasa adalah kembali (rujuk).
Dengan demikian, taubat diartikan
sebagai kembali dari yang dicela menuju sesuatu yang di puji.[2]
Berserah diri pada-Nya dengan hati penuh penyesalan yang sungguh-sungguh. Hati
menyesal akan perbuatan dosa yang kita lakukan itu menjadikan anggota-anggota
lahir (mata, telinga, kepala, kaki, tangan, kemaluan) tunduk dan patuh dengan
syariat yang Allah telah tetapkan dan berjanji tidak akan mengulangi lagi
perbuatan-perbuatan itu kembali.
Perintah taubat dan kaitannya telah di
sebutkan dalam Al Quran sebanyak 87 kali. Kata ini di sebutkan begitu banyak
yang berarti menunjukan kebesaran dari kebenaran taubat di
sisi Allah.[3] Sebagai contoh adalah beberapa ayat berikut pengertiannya:
“Dan bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. An-Nissa 31)
“Dan Barangsiapa yang tidak
bertobat, Maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Hujurat: 11)
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa
(taubat yang semurni-murninya)...”. (QS. At-Tahrim: 8)
Taubat adalah langkah pertama perjalanan
menuju akhirat, modal bagi orang yang beruntung, kunci keistiqomahan pendamba akirat,
tempat orang-orang terbaik muncul dan pilihan bagi hamba yang mendekatkan diri.[4]
Tobat sendiri adalah kembalinya seorang hamba kepada Allah dan meninggalkan
jalan orang-orang yang dimurka dan sesat. Sebagaimana yang terpaparkan di atas,
apabila seorang hamba telah bertaubat, maka ia memiliki modal dan tiket
keberuntungan selangkah menuju kebaikan akhirat (surga) dan juga pastinya
sukses dunia, karena modal yang ia dapatkan brasal dari Allah; selalu istiqamah
karena taubat yang ia lakukan adalah karena Allah semata, meskipun sedang
merasa futur (melempem); menjadi orang yang terbaik karena selalu
mendekatkan diri kepada-Nya.
2.
Syarat-Syarat Taubat
Syarat-syarat
taubat ada dua bahagian, yaitu:
a.
Syarat taubat
di atas dosa dan kesalahan dengan Allah
1)
Menyesali
dengan sungguh-sungguh atas dosa-dosa yang telah dilakukan. [5]
Yakni terasa menyesal, sedih, duka-cita, rasa
tidak patut kerena melanggar
syariat Allah. Ia harus mengingat apa yang di perbuatnya tahun demi tahun,
bulan demi bulan, hari demi hari.
2)
Berazam/berjanji dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulangi lagi
perkara-perkara yang menjadi larangan Allah tersebut.
3)
Meninggalkan
perkara-perkara yang mendatangkan dosa-dosa dengan Allah sama ada dosa besar
atau dosa kecil.
Syarat taubat ada tiga untuk dosa yang terkait
hak Allah, yairu menyesali dosa, melepaskan diri darinya, dan bertekad tidak
mengulanginya.[6]
Pertama, menyesali adalah tobat.[7]
Demikianlah hadits Rasulullah yang di shahihkan oleh Al-Hakim. Seseorang yang
bertaubat pasti menyesali dosa-dosanya. Apabila ia telah bertaubat namun tidak
menyesali dosa/perbuatan buruknya, maka ia belum dikatakan bertaubat. Karena
dengan demikian berarti ia masih melakukan perbuatan buruknya tersebut.
Kedua, melepaskan diri dari hal-hal buruk
(dosa tersebut). Sebagaimana yang telah tertera di atas, taubat memang mustahil terwujud
jika dosa tetap dilakukan. Selain itu juga memperbaiki kesalahan dengan cara
menebar kebaikan dimuka bumi.[8]
Dalam artian melakukan amalan-amalan shalih. Seperti menolong sesama, dimaksudkan
untuk menumbuhkan ketetapan iman. Sebaliknya jika melakukan dosa hanya akan
memperparah iman hingga iman bertambah tipis dan tidak kokoh lagi.
Ketiga, bertekad untuk tidak mengulanginya.
Azam untuk tidak mengulangi perbuatan dosa
haruslah benar-benar dibangun di atas keikhlasan dan keseriusan.[9]
Bahkan sebagian ulama menambahkan syarat, tidak mengulangi perbuatan dosa.
Dikatakan bahwa, “Ketika seseorang kembali melakukan dosa, hal ini
menunjukkan bahwa ia keliru dan tidak benar”. Namun, manusiawi jika manusia
tetap mengulangi kesalahan/dosa yang pernah dilakukannya kemudian bertaubat.
Karena manusia adalah makhluk Allah yang banyak khilaf dan lupanya.
b.
Syarat taubat
di atas dosa dan kesalahan dengan sesama manusia
1)
Menyesal
sungguh-sungguh atas segala kesalahan yang dibuat terhadap orang lain tersebut.
Benar-benar terasa di hati perasaan sedih, duka-cita dan rasa
tidak patut atas perbuatanya.
2)
Meninggalkan
perkara-perkara yang mendatangkan dosa dengan manusia.
3)
Berazam
bersungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perkara-perkara yang mendatangkan
dosa yang ada hubungan dengan manusia (mu’amaidh).
4)
Meminta maaf
atau meminta ridho (halal) kepada orang yang kita telah berbuat dosa
terhadapnya atau membayar ganti rugi atau memulangkan barang yang telah
diambil.
Semetara itu dalam reverensi lain, untuk dosa
yang berkenaan dengan hak sesama, maka orang yang bertaubat harus membenahi
yang ia rusak atau meminta maaf kepada
orang yang telah ia zalimi.[10]
Dosa seperti ini memang mencakup dua hak, hak
Allah dan hak manusia. Kepada Allah harus bertaubat dan kepada manusia harus
meminta maaf atau mengganti kezaliman yang telah ia lakukan dengan kebaikan.
Berikut ini adalah macam syarat taubat secara
ringkas:
1)
Penyesalan dari dosa karena Allah SWT.
2)
Berhenti melakukannya.
3)
Bertekad tidak mengulanginya di masa datang.
4)
Dilakukan sebelum ruh sampai ditenggorokan atau kiamat
besar.
5)
Jika dosa yang berkaitan dengan hak manusia, maka harus
meminta maaf dengan orang it dan meminta kerelaannya.
6)
Harus bertaubat atas sekuruh dosa yang diperbuat, tidak
hanya bertaubat pada sebagian dosa saja.[11]
7)
Dosa yang berkaitan dengan hak orang lain tidak sah
bertaubat darinya kecuali dengan menyerahkan keputusnnya kepada orang tersebut,
seperti qishas, barang rampasan, dan berbagai macam denda serta hukuman atas
tuduhan bohong.[12]
Sebagaimana telah diterangkan Rasulullah SAW. dalam sabda beliau:
مَنْ كَانَ لأَ خِيْهِ عِنْدَ هُ مَظْلِمَةٌ
مِنْ مَا لٍ وَعِرْضٍ فَلْيَتَلَّلْةُ ا لْىَؤْ مَ قَ
“Siapa yang memiliki tanggungan kezaliman
berupa harta dan kehormatan pada saudaranya, hendaklah ia meminta dihalalkan
pada hari ini sebelum (tibanya hari) tudak ada lagi dinar ataupun dirham,
selain kebaikan dan keburukan.” (HR. Bukhari)
3.
Beberapa Kekeliruan dalam Taubat
Beberapa kekliruan dalam Taubat yang membuat
sebab tidak di terimanya taubat[13]
diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Di saat tanda kematian menghampiri ia baru menyesali masa
lalunya dan menyatakan bertaubat. Sebagaimana berfirman Allah SWT. berikut pengertiannya:
”Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang
yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang
di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : "Sesungguhnya saya bertaubat
sekarang" dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang
mereka di dalam kekafiran. bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang
pedih”. (QS. An-Nisa:
18)
b.
Bertobat yang tidak mengikuti
syarat-syarat
taubat
c.
Kafir setelah
keimananya.
“Sesungguhnya
orang orang kafir sesudah beriman kemudian bertambah kekafirannya, sekali kali
dia tidak akan di terima taubatnya: dan mereka itulah orang orang yang sesat”. (QS Al Imran: 90)
4.
Tanda-Tanda Sah Taubat
Tanda sah taubat atau tanda diterimanya taubat
kita oleh Allah SWT. dapat paparkan sebagai berikut:
a.
Setelah bertaubat kita akan menjadi lebih baik dari yang
sebelumnya. Firman Allah SWT:
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun atas orang orang
yang bertaubat , beriman, dan beramal soleh, kemudian tetap di jalan yang
benar”. (QS. Taha: 82)
b.
Hatinya selalu dihiasi rasa takut kepada Allah, tidak
pernah berpisah dengan-Nya siang dan malam sehingga ia mendengar malaikat
berbicara pada ketika mencabut nyawanya.
c.
Selalu menyesal kepada Allah, mengahap Allah dengan rasa
malu, takut, dan hina.
d.
Merasa dan menyadari buruknya perbuatan dosa dan bahanya.
e.
Menjauhi dan meninggalkan kawan-kawan yang berperangai
buruk kerena seseorang akan selalu mengikuti kebiasaan temanya. Firman Allah
SWT. sebagai berikut:
“Dan Allah ingin menerima
taubatmu, sedangkan orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu
berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran)” (QS. An Nisa : 27)
f. Tidak meremehkan
dosa kecil
g. Melenyapkan
segala sesuatu yang menjadi sebab terjadinya maksiat
B. Khauf
1.
Pengertian Khauf
Al-khauf artinya takut, yang semakna dengan yakhsya[14].
Sebagaimana firman Allah SWT. berikut:
“Dan janganlah kamu
membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah
kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan
dikabulkan). Sesungguhnya
rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-A’raaf: 56)
Takut merupakan sakit dan terbakarnya hati
karena perkiraan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.
Rasa takutlah yang mencegah seluruh anggota tubuh melakukan kemaksiatan dan
mengikatnya dengan ketaatan.[15]
Rasa takut dapat diartikan sebagai suatu kedisiplinan,
apabila rasa takut yang berada di diri seseorang tidak sempurna atau lemah maka
akan mendorong pada kelalaian dan sikap lancang melakukan dosa, sementara takut
yang berlebihan akan menimbulkan rasa putus asa.
Takut yang dirasakan oleh seorang hamba pada
Rabb-nya adalah karena ia telah mengenal Rabb-nya. Sehingga ia menjadi tahu apa
yang disukai dan tidak disukai oleh Allah SWT. Apabila ia melakukan sesuatu
yang Allah tidak suka, maka ia akan merasa takut akan murka Allah SWT, dan
begitupun sebaliknya.
2.
Tingkatan Khauf
Tingkatan khauf tergantung pada kuatnya rasa
takut seseorang. Kuatnya rasa takut seseorang diukur dari sejauh mana seseorang
mengetahui aib diri dan mengenal keluhuran Allah, serta memohon pertolongan
kepada-Nya.[16]
Dari paparan di atas dapat diartikan bahwa tingkatan
rasa takut pada seorang hamba ada, atau muncul dan berkembang karena seseorang
tersebut mengenali dirinya, baik perbuatan-perbuatan buruk dan dosa-dosa yang pernah
ia lakukan; maupun mengenal Rabb-nya, yaitu kekuasaan Allah SWT.
Sebagaimana sabda Rasulullah berikut:
“Sungguh, aku paling mengenal Allah di antara
mereka dan yang paling takut kepada-Nya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Tingkatan khauf seseorang ada dua, yaitu takut
karena perbuatan dosa besar dan dosa yang kecil atau hal-hal yang dianggap
sunnah dan makruh.
Pertama, takut karena telah melakukan dosa besar, artinya
seseorang hanya merasa takut kepada Allah karena dosa besar yang telah ia
lakukan. Sehingga ia mengira bahwa dosanya tersebut mustahil untuk diampuni
Allah SWT. Namun untuk dosa-dosa kecil ia tidak merasa takut akan azab Allah.
Kedua, takut karena meninggalkan hal-hal sunnah atau karena melakukan
dosa kecil. Ini adalah tingkatan takut yang jarang sekali dimiliki oleh
seseorang. Tingkatan takut ini contohnya, seperti meninggalkan shalat sunnah,
puasa sunnah, berbicara yang kurang bermanfaat, dan mengisi waktu-waktu luang
dengan hal-hal yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Pada tingkatan ini
seseorang takut akan teguran Allah, mengapa ia tidak menjalankan sunnah Nabi
SAW. dan membuang waktunya secara sia-sia. Karena semua yang kita lakukan akan
dipertanggung jawabkan di hari akhir kelak.
3.
Keutamaan Khauf
Allah menyatukan petunjuk, rahmat, ilmu,
dan ridha-Nya untuk mereka yang takut pada-Nya.[17]
Allah SWT. berfirman sebagai berikut:
“...petunjuk dan rahmat
untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. Al-A’raaf: 154)
“... Allah ridha terhadap
mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi
orang yang takut kepada Tuhannya”. (QS. Al-Bayyinah: 8)
Allah juga berfirman memerintahkan para hamba
untuk takut kepada-Nya, dan menjadikan rasa khauf sebagai syarat iman.
“Dan takutlah kepada-Ku,
jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (QS. Al-Imran: 175)
Rasulullah SAW. bersabda, “Tidaklah masuk
neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah, hingga air susu masuk
kembali ketempat semula.” (HR. Tirmizi)
“Tidak ada setetes air mata yang dicintai
Allah kecuali setetes iar mata karena takut kepada-Nya atau tetes darah yang
keluar dari jalan Allah”. (HR. Tirmidzi)
“Tujuh gologan yang dinaungi Allah ketika
tidak ada naungan selain naungan-Nya, di antaranya seseorang yang mengingat
Allah pada waktu sepi dan meneteskan air mata”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadits di atas dapat diartikan bahwa
salah satu keutamaan khauf adalah Allah akan mencintai hamba yang merasa takut
pada-Nya, dan Allah akan menaungi hamba-Nya pada saat tidak ada lagi naungan
selain naungan-Nya pada hari kiamat kelak. Pada akhirnya Allah akan memasukkan
orang-orang yang takut kepada-Nya dalam syurga-Nya.
Rasa takut seseorang jugatercermin dengan cara
menangis. Sebagaimana perkataan Abu Sulaiman berikut:
“Menangis adalah buah dari rasa takut kepada
Allah.”
C. Raja’
1.
Pengertian Raja’
Raja’ atau berpengharap kepada Allah SWT.[18]
adalah kegembiraan hati karena menantikan sesuatu yang dicintai. Akan tetapi
sesuatu yang dicintai itu harus mempunyai sebab. Bilamana sebagian besar
sebab-sebabnya telah terjadi, maka tepatlah dinamakan harapan. Apabila masih
menunggu, sedangkan sebab-sebabnya telah lenyap, penamaan ghurur (ketertipuan
atau ketololan) lebih tepat.[19]
Dapat diartikan bahwa harapan adalah rasa
tenang dan senang, karena menunggu sesuatu yang kita cintai atau sukai, dengan
kepercayaan yang mendalam bahwa sesuatu itu akan benar-benar terjadi karena
beberapa sebab/syarat raja’ telah berhasil terpenuhi oleh kita sebelumnya.
Perumpamaan raja’ adalah seperti seseorang
yang menebar benih yang baik, di tanah yang subur, diberi pupuk pada waktunya
dan pengairan yang baik, membersihkan rumput dan duri yang mengganggunya, lalu
menantikan karunia Allah agar menghalau badai dan petir yang akan merusak
tanamannya hingga sampai waktunya memanen, penantian seperti inilah yang
dinamakan harapan.
Raja’ bermakna harapan kepada Allah, bukan al-tamanniy
yang berarti berangan-angan yang tidak mungkin sampai pada tujuannya.[20]
Seperti seseorang yang menebar benih yang tidak baik, di tanah yang yang keras,
kering, tandus, tanpa perawatan sedikitpun, lalu seseorang tersebut menunggu
hasil panennya, yang seperti ini bukanlah harapan.
Al-raja’ bermakna harapan yang penuh kepada Allah agar keputus-asaan
menjadi hilang dari sanubarinya.[21] Al-raja’
lawan dari ad-ya’su artinya berputus asa dari rahmat Allah. Allah telah berfirman yang berbunyi sebagai
berikut:
“Sesungguhnya orang-orang
yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka
itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS. Al-Baqarah: 218)
“Hai anak-anakku, pergilah
kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu
berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat
Allah, melainkan kaum yang kafir". (QS. Yusuf; 87)
Contoh dari raja’ adalah sebagaimana hasil
raja’ Nabi Ya’kub yang sangat kuat, hingga dipertemukan kembali pada Nabi
Yusuf, setelah bertahun-tahun berharap kepada Allah, dengan selalu mencari
anaknya dan harapan yang tak pernah putus-putus (putus asa), sebagaimana firman di atas.
Dari keseluruhan paparan di atas, dapat
diartikan bahwa raja’ adalah suatu sikap yang tertanam dalam jiwa
seseorang yang penuh harapan, atau yang bermakna semangat yang tinggi dalam
meraih harapan untuk mendapatkan sesuatu. Raja’ juga dimaknai dengan rasa
optimisme, hati yang penuh harapan, yakin usahanya akan sampai ketujuan
sebagaimana yang diharapkannya. Optimisme terhadap Allah di mana pikiran dan
hati selalu ingin dekat kepada-Nya. Karena kedekatan rahmat Allah kepada manusia
adalah sesuai dengan dugaannya dan prasangkanya.
2.
Keutamaan Raja’
Dengan berpengharapan kepada Allah, seseorang
akan mendapatkan ampunan dari-Nya. Sebesar apapun dosa seorang hamba pada
Rabb-nya, pastilah Allah akan mengampuninya, terkecuali syirik. Sebagaimana
firman Allah SWT. berikut ini:
“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap
diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)
“...Sesungguhnya Rabb-mu benar-benar mempunyai ampunan dan hukuman yang
pedih.” (QS. Fushilat: 43)
Rasulullah SAW. bersabda yang berbunyi sebagai
berikut:
“Anas bin Malik berkata, “Aku mendengar
Rasulullah SAW. bersabda, “Wahai anak Adam, sesungguhnya selama kamu bermohon
kepada-Ku dan ber-raja’ kepada-Ku, Aku pasti mengampunimu atas segala keadaanmu
dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, kalaulah dosa-dosamu mencapai langit
kemudian kamu memohon ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu. Wahai anak
Adam, jika sekiranya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa atau kesalahan
sebanyak isi bumi tetapi kamu tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya
Aku akan datang dengan ampunan sebanyak isi bumi pula. (HR. Tirmidzi)
Keutamaan raja’ yang lainnya adalah rasa takut
akan lebih menguatkan hati dan lebih mencintai Allah. Dzat tempat ia melabuhkan
segala harapannya.[22]
Sehingga apabila ia akan meninggalkan dunia pasti berharap berada dalam
kecintaan pada Allah, agar ia merasa senang ketika perjumpaan dengan-Nya. Maka
keutamaan rasa harap di siniadalah lebih menguatkan hati dan lebih mencintai
Allah.
D. Menghimpun
Khauf dan Raja’
Menghimpun khauf dan raja’, artinya adalah
menyatukan antara khauf dan raja’. Pada dasarnya khauf dan raja’ memanglah
selalu bersama, saling melengkapi dan sulit untuk dipisahkan.
Dapat dikatakan harapan yang menempati hati
sanubari seringkali bertemu dengan al-khauf. Apabila al-raja dan al-khauf
bertemu, maka yang muncul adalah harap dan cemas. Keduanya mesti tertuju
kepada Allah, berharap agar Allah mencintainya dan mengabulkan permintaannya, sedangkan
khauf (munculnya sikap cemas) manakala Allah membencinya karena ia tidak
mentaati Allah.
Setiap orang yang ber-raja’ pastilah ia
orang yang ber-khauf (takut). Sebagaimana firman Allah SWT.
“Dan janganlah kamu
membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah
kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan
(akan dikabulkan). Sesungguhnya
rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-A’raaf: 56)
Dari dalil di atas telah tampak contoh dari
khauf dan raja’. Ketika seseorang berdoa maka ia akan berdoa dengan rasa harap
agar doanya diterima dan dikabulkan Allah, kemudian ia pun juga merasa
takut/cemas bahwa doanya tersebut tidak akan dikabulkan dan diterima oleh
Allah.
Nabi SAW. masuk kepada seorang laki-laki yang
sedang mengalami sekarat, lalu beliau berkata, “Bagaimana perasaanmu? Orangitu
menjawab, aku merasa taku atas segala dosa-dosaku dan mengharap rahmat Tuhan-ku.”
Maka Nabi SAW. bersabda:
“Tidaklah kedua perasaan itu berkumpul dalam
hati seorang hamba di tempat ini, melainkan Allah Ta’ala memberinya apa yang
diharapkannya dan mengamankannya dari apa yang ditakutinya.”[23]
Telah jelaskan dalan sabda Rasulullah SAW. di
atas bahwa rasa takut saja tidaklah cukup, namun harus juga dibarengi dengan
rasa harap kepada Allah SWT.
Setiap orang yang berharap untuk mendapat hal
yang menyenangkan, maka ia takut kehilangannya. Karena apabila ia tidak takut
kehilangan, berarti ia tidak menyukainya dan apabila ia tidak menyukainya, maka
ia tidak berharap untuk mendapatkannya.
Abu QasimAl-Hakim bertutur, “Siapa yang takut
terhadap sesuatu ia akan lari darinya. Tetapi siapa yang takut kepada Allah ia
justru lari untuk mendekati-Nya”.[24]
Rasa takut akan membawa seseorang untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah
dan membuat ia berharap supaya Allah pun akan mendekatinya dan mencintainya.
Kauf dan raja bagaikan roti dan air yang
sama-sama sangat penting bagi manusia. Keduanya bagaikan dua bagian yang tidak
dapat dipisahkan. Roti sangat berguna bagi orang yang kelaparan, sedangkan air
sangat berguna bagi orang yang kehausan. Bagaimana jadinya jika hanya ada air,
maka orang yang kelaparan akan tetap merasa lapar. Begitu juga sebaliknya,
apabila hanya ada roti, maka orang yang kehausan akan tetap merasa haus
meskipun telah memakan roti.
Demikianlah
perumpamaan khauf dan raja’ yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain.
Karena dalam kehidupan manusia pasti mengalami yang namanya haus dan lapar,
yaitu penyakit hati. Khauf dan raja’ sebagai obatnya. Penyakit merasa tenang
dari azab Allah maka obatnya adalah khauf. Sedangakan penyakit putus asa dan
pasrah adalah raja’.
[1] Sa’id Hawwa, Tazkiyatun Nafs Intisrti Ihya Ulumuddin, (Jakarta: Pena
Pundi Aksara, 2008), hlm. 414.
[2] Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara Al Ghazali dan Ibnu Taimiyah,
(Jakarta: Khalifa, 2005), hlm. 111.
[8] Amin Syukur, Tasawuf Konstektual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), hlm. 36.
[9] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Dkk, Tazkiyatun Nafs, (Solo: Pustaka
Arafah, 2014), hlm. 173.
[10] Ahmad Farid, Op. Cit., hlm. 194.
[14] Nasharuddin, Akhlak (Ciri Manusia Paripurna), (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada,2015), hlm. 439.
[17] Ahmad Farid, Op. Cit., hlm. 164.
[18] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Dkk, Op. Cit., hlm.139.
[24] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Dkk, Op. Cit., hlm. 149.
0 komentar:
Posting Komentar