A. Pengertian KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga (disingkat KDRT) adalah
tindakan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami, istri, maupun anak yang berdampak
buruk terhadap keutuhan fisik, psikis, dan keharmonisan hubungan.
KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[1]
KDRT,
di daerah tertentu telah menjadi suatu kebudayaan. Kebudayaan menurut R. Linton
dalam buku Cultural Background of Personality adalah konfigurasi dari
tingkahlaku yang dipelajari dan hasil tingkahlaku yang unsur-unsur pembentuknya
didukung dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat terentu.[2]
Terkadang dan memang ada disuatu daerah/tempat yang telah menganggap bahwa
laki-laki berkuasa penuh atas hak wanita. Contohnya adalah di India. Ada suatu
daerah di sana yang sangat menjunjung tinggi adat-istiadat mereka. Jika suami
meninggal maka istri harus digundul rambutnya, dan ada juga jika suami
meninggal maka istri harus juga di bakar bersama suaminya.
B.
Pentingnya
Masalah KDRT bagi Individu, Masyarakat,
Bangsa dan Negara.
Masalah KDRT sangatlah penting bagi kita individu,
masyarakat, bangsa dan negara. Mengapa dikatakan penting? Karena kekerasan
dalam rumah tangga selain telah menyimpang dari peraturan peundang-undangan
NKRI, juga dapat menimbulkan dampak-dampak negatif. Dampak yang pastinya sangat
merugikan banyak pihak. Bisa pihak individu kekerasa itu sendiri, terutama
pihak korban. Pihak masyarakat yang menjadi cemas. Pihak bangsa dan negara yang
di katakan belum baik pengamalan peraturan-peraturannya.
“KDRT adalah suatu perbuatan menyimpang yang biasanya
dilakukaan oleh seorang suami kepada istri dalaam bentuk kekerasan secaraa
fisik, seksual, maupun psikologis. Selain berdampak buruk secara fisik,
biasanya juga akan berdampak buruk kepada psikologis korban, sehingga
membuatnya trauma”.[3] Yang menjadi korban dalam
KDRT adalah istri dan anak-anak. Jarang sekali suami atau pihak lain yang
menjadi korban. Adanya kekerasan fisik/secara langsung dan nonfisik/tidak langsung mengakibatkan dampak
fisik dan psikis bagi individu. Dampak fisik: Lumpuh, cidera atau
cacat ringan/berat, dan bahkan meninggal dunia. Dampak psikis: stres,
depresi, susah tidur, trauma, rasa cemas dan takut yang berlebihan, tidak
merasa nyaman dan rasa ingin adanya perceraian.
Contoh:
1.
Kekerasan fisik: menyiram dengan air panas, melakuka pekerjaan yang
berat, memukul dengan benda tajam/tumpul, mendorong, menjambak, menendang, dan
menampar.
2.
Kekerasa nonfisik: memarahi, menaku-nakuti,
merendahkan, mengancam, mencemooh/menjelek-jelekkan.
Dampak bagi
masyarakat dengan adanya KDRT akan menyebabkan kekurang nyamanan dalam
masyarakat tersebut, kurangnya keharmonisan dalam masyarakat, kegelisahan dan
ketakutan di dalam lingkungan masyarakat tersebut. Masyarakat khawatir, denga
adanya KDRT di salah satu keluarga dilingkungan masyarakatnya, nantinya akan
mengakibatkan perluasan kekerasan yang berdampak pada kekerasan dalam
masyarakat.
“Kasus
KDRT sangatlah penting, karena dalam kehidupan berumah tangga, KDRT akan
berdampak buruk bagi perkembangan psikologis anak”.[4]
Dampak KDRT
bagi bangsa dan negara juga sangatlah penting. Melihat himpunan/kumpulan
terkecil yang membentuk adanya sebuah/suatu bangsa dan negara adalah keluarga.
Bagaimana bangsa dan negara akan harmonis atau tertata dengan baik jika himpunan
terkcilnya saja tidak baik.
C. Dasar KDRT
Dasar
Yuridis yang mendasari yaitu Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Khususnya UUDRI Tahun 1945 BAB XI tentang Hak
Asasi Manusia.
1. Pasal
28G ayat 1
Yang berbunyi “Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta banda yang ada di bawah kekusaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi”.
2.
Pasal 28G ayat 2
Berbunyi “Setiap
orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.
Pernyataan ini pun
sesuai/sama dengan pernyataan di atas. Setiap orang memiliki hak untuk mendapat
kebebasan dari penyiksaan dan perilaku yang merendahkan martabat manusia.
3. Pasal
28H ayat 1
Berbunyi, “Setiap orang berhak hidup sejahteraa
lahir dan batin, bertempat tingagl dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik...”.
4. Pasal
28I ayat 1
Yang berbinyi, “Hak untuk hidup,untuk tidk
disiksa,...,hak untuk tidak diperbudak,...”.
Telah jelas tertera di pasal-pasal di atss bahwa,
setiap orang berhak untuk mendapat perlindungan, atas dirinya baik berupa
kehormatannya, martabat dan hartanya, serta rasa aman, dan ancaman ketakutan;
berhak untuk hidup sejahtera dan mendapat lingkingan yang baik; berhak untuk
tidak disiksa dan tidak diperlakukan seenaknya. Dan jikapun KDRT itu terjadi
maka ada salah satu atau bahkan beberapa hak asasi tersebut yang tidak terpenuhi.
Artinya telah menyeleweng dari ketentuan UU tersebut.
D. Penyebab KDRT
KDRT tidak
begitu saja terjadi dengan sendirinya,tanpa adanya penyebab-penyebab yang
menyebabkan ia terjadi. Berikut penyebab dari KDRT adalah:
1. Kurang
memahami hukum-hukum agama
2. Kurangnya
kasih sayang
Dalam
Kamus Umum karangan W. J. S. Purwodurminto, kasih sayang diartikan dengan
perasaan sayang, perasaan cinta, atau perasaan suka terhadap seseorang.[5]
Dalam rumah tangga kunci kebahagiaan adalah kasih sayang.
Dalam
kasih sayang ini, sadar atau tidar sadar masing-masing pihak dituntut untuk
saling bertanggung jawab, penuh pengirbanan, jujur, saling percaya, saling
pengertian, terbuka, agar tercipta keutuhan dan menjadi rumah tangga yang bulat
dan kuat.
3.
Karakter
Karakter atau tabiat manusia merupakan kemampuan
psikologis yang terbawa sejak kelahirannya. Karakter ini berkaitan dengan
tingkah laku moral dan sosial serta etis seseorang.[6]
Karena kebiasaan sejak kecil yang buruk biasanya menimbulkan
kesenjangan-kesenjangan sosial yang membawa dampak timbulnya KDRT disebuah
keluarga. Tabiar kurang baik yang dimaksud misalnya: gampang emosi atau tidak
dapat menahan emosi, ajaran sejak kecil bahwa wanita berada di bawah laki-laki,
terbiasa mengatakan kata-kata kasar, suara yang intonasinya meninggi.
4.
Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara
Contohnya
pembagian-pembagian tugas kerja di dalam suatu rumah tangga. Misal, istri
mengurus pekerjaan dan keluarga di rumah sedangkan suami mencari nafkah di luar
rumah.
- Anggapan individu/masyarakat/adat-istiadat
Individu/masyarakat/adat-istiadat
menganggap dan menanamkan bahwa laki-laki harus kuat, berani serta tanpa ampun
pada siapapun termasuk pada wanita.
- KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi terhadap relasi suami istri
7. Tidak
adanya keserasian
Keserasian, berasal dari kata “serasi” kata dasar
“rasi” yang berarti cocok, sesuai, perpaduan, ukuran.[7]
Timbulnya KDRT juga disebabkan karena kurangnya keserasian antara pasangan
suami dan istri. Terkadang keserasian ini timbul pada awal-awal masa
pernikahan, namun dengan betambahnya usia perkawinan keserasian itu mulai
berkurang disebabkan ketidakdewasaan dan ketidak seriuan dari masing-masing
pihak.
8. Bisa kombinasi dari banyak faktor
Pertama, seperti
faktor ekonomi, sosial, anak, dan lain sebagainya. Kedua, ekonomi.
Ketiga, pendidikan dan iman. Keempat, politik. Kelima,
konflik bersenjata.[8]
Faktor
dominan
yang menjadi penyebab KDRT ialah ekonomi. Dalam masalah ini, setidaknya terbagi
dua kelompok yang menjadi pelaku dan korban KDRT . Pertama,
mereka sudah mapan ekonominya (biasany dengan berselingkuh karena tidak
puas/bosan dan berkeinginan memiliki pasangan lebih banyak). Kedua,
masyarakat miskin (ekonomi yang rendah menimbulkan banyaknya kebutuhan tidak
terpenuhi, biasanya salah satu atau bahkan kedua pihak tidak puas, tidak dapat
menahan emosi dan tidak sabar. Hingga menimbulkan KDRT).
9. Kurangnya
keadilan
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang
seimbang antara hak dan kewajiban.[9]
Sering terjadi berat sebelah di dalam rumah tangga dan di antara kedua anggota
keluarga besar khususnya. Yang ditimbulkan ketidak adilan dari masing-masing
pihak. Misalnya suami lebih memperhatikan orangtuanya dari pada mertuanya. Dan
sebaliknya.
10. Pengaruh
lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar
tempat hidup atau tempat tinggal kita.[10]
Jika lingkungan tempat kita tinggal baik, maka akan baik juga hati dan watak
kita, baik juga suasana keluarga kita dan akan menimbulkan kebaikan-kebaikan
lainnya.
E.
Siklus
KDRT
Siklus
di atas mununjukan adanya tahapan-tahapan dalam
suatu rumah tangga ataupun dapat di artikan juga dalam seluruh aspek kehidupan
kita. Yang selalu tidaka pernah lepas dari permasalah. Namun, permasalah itu
akan menjadi biasa, apabila kita dapat menanggapinya sesuai dengan kecerdasa
emosional yang sebenarnya dan sewajarnya.
Kita mulai dari yang pertama, yaitu situasi
hubungan baik. Inilah awal dari hubungan kita pada semua orang yang pastinya
dimulai dari hubungan yang baik
Tahapan kedua, yaitu ketegangan
konflik. Dimana ketegangan konflik ini muncul dari adanya konflik-konflik kecil
yang tidak dapat diatasi dengan sabar, lembut dan cerdas. Sehingga konflik
kecil itupun menjadi besar dan menegang.
Tahap ketiga, yaitu ledakan kekerasan. Ledakan
kekerasan pasti timbul setelah tegangan-tegangan yang terjadi di tahap kedua
semakin besar. Ledakan dapat berupa luapan emosi dengan marah. Dapat berupa
kata-kata dengan nada tinggi yang kasar. Dapat juga berupa kemarahan fisik,
seperti memukul dan membanting sesuatu.
Tahap selanjutnya yaitu siklus terakhir, siklus keempat.
Periode memaafkan atau situasi tenang, inilah suatu periode terakhir yang
paling penting. Dikatakan penting karena disiklus ini masing-masing pihak telah
menyadarkan diri, telah memahami bahwa masing-masing dari mereka tanpa mereka
sadari telah berbuat kesalahan. Dapat dikatakan tahap ini adalah tahap
intropeksidiri.
Siklus
kekerasan umumnya bergulir sebagai berikut[11]:
1.
Dimulai dengan individu tertarik dan
mengembangkan hubungan.
2.
Individu dan pasangan mulai lebih mengenal satu
sama lain, “tampil asli” dengan karakteristik dan tuntutan
masing-masing, muncul konflik dan ketegangan.
3.
Terjadi ledakan dalam bentuk kekerasan.
4.
Ketegangan mereda. Korban terkejut dan memaknai
apa yang terjadi. Pelaku bersikap ”baik” dan mungkin meminta maaf.
5.
Korban merasa ”berdosa” (bila tidak memaafkan),
korban menyalahkan diri sendiri karena merasa atau dianggap menjadi pemicu
kejadian, korban mengembangkan harapan akan hubungan yang lebih baik.
6.
Periode tenang tidak dapat bertahan. Kembali
muncul konflik dan ketegangan, disusul ledakan kekerasan lagi, demikian
seterusnya.
7.
Korban “terperangkap”, merasa bingung, takut,
bersalah, tak berdaya, berharap pelaku menepati janji untuk tidak melakukan
kekerasan lagi, dan demikian seterusnya.
8.
Bila tidak ada intervensi khusus (internal,
eksternal) siklus kekerasan dapat terus berputar dengan perguliran makin cepat,
dan kekerasan makin intens.
9.
Sangat destruktif dan berdampak merugikan
secara psikologis (dan mungkin juga fisik).
F.
Kiat-Kiat
Istimewa Menuju Keluarga Bahagia Dunia Akhirat
Keluarga sakinah adalah tempat
kita bernaung dari segala permasalahan kehidupan. Rumah yang diisi dengan
keluarga sakinah akan menjadi rumah yang dirindukan. Rumah penyejuk hati yang
akan menghibur pemiliknya setiap kali singgah di rumah tersebut.
1.
Rumah Tangga
Dibangun Dan Didirikan Berlandaskan Al-Qur'an Dan Sunnah Nabi
Asas serta niat
awal ketika merintis sebuah keluarga dalam bentuk pernikahan yang syah baik
dalam agama maupun sah di dalam aturan negara dalam rangka
pembentukan sebuah keluarga sakinah ialah rumah tangga yang dibina atas
landasan taqwa, berpandukan Al-Quran dan Sunnah. dan bukannya atas dasar cinta semata-mata
atau bahkan nafsu saja.
2.
Membentuk Rumah
Tangga Untuk Menciptakan Kasih Sayang (Mawaddah Warahmah)
Seseorang berumah tangga meghendaki adanya
kebahagiaan dengan selalu menamancarkan kasih sayang di antara seluruh anggota
keluarga. Bukan sebaliknya. Sehingga terciptalah keluarga yang bahagia dengan selalu
menciptakan kasih sayang pada seluruh anggota keluarga.
3.
Bersyukur Telah
Dikaruniai Pasangan Hidup
Sebagai makhluk yang ber-Tuhan, kita harus
selalu bersyukur atas apa yang telah ditetapkan Allah SWT. Karena jodoh adalah
salah satu ketetapan Allah yang tidak dapat diubah. Jodoh juga adalah salah
satu ketetapan Allah yang telah Allah tetapkan sebelum kita terlahir di dunia
ini. Karena jodoh kita adalah cerminan dari diri kita. Seperti yang telah Allah
sampaikan lewat firman-Nya dalam Al-Qur’an surah an-Nur ayah 26, yang artinya
“Perempuan-perempun yan keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji
untuk perempuan-perempun yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang
baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk
perempuan-perempuan yang baik (pula)...”.
4.
Memilih
Kriteria Suami atau Istri Yang Tepat
Sebelum
kita menginginkan pasangn yang baik, sebaiknya dan seharusnya kita terlebih
dulu memperbaiki diri kita sendiri. Rasulullah SAW bersabda apabila kita
mencari seorang pasangan hidup, maka lihatlah dari kecantikan/ketampanan
rupanya, dari kedudukannya, dari keturunannya, dan terakhir adalah dari
agamanya. Urutan agama terletak paling akhir. Namun, bukan berarti agama ada
diurutan terakhir karena agama tidak terlalu penting dibandingkan dengan urutan
yang lain. Bahkan, agama adalah faktor yang terpeting dibandingkan dengan fakto-faktor
lainnya.
5.
Menjalankan
Kewajiban dan Hak Sebagai Suami Dan Istri Dengan Baik
Kebiasaan yang ada dalam masyarakat biasanya
menempatkan posisi-posisi/tugas-tugas pekerjaan tertentu pada seorang suami
atau istri. Seperti: suami tuganya mencari nafkah di luar rumah. Sedangkan
istri bertugas di rumah, contohnya memasak, mencuci dan mengurus anak dan suami.
Ataupun sebaliknya.
Ini adalah bentuk kesalahan yang sering sekali
terjadi di kalangan masyarakat kita. Jika kita melihat sebenarnya pekerjaan yang
dibagi-bagi seperti yang telah disebutkan tadi tidakah seimbang. Sebaiknya
suami dan istri dapat menempatkan posisi mereka satu sama lain dengan hak dan
kewajiban yang sebenarnya. Laki-laki sebagai imam/suami dan perempuan/istri
sebagai makmum. Yang pastinya tidak keluar dari ajaran-ajaran agama dan
kemanusiaan. Adanya saling membantu dan memahami satu sama lain akan memudahkan
setiap hak dan kewajiban tersebut.
“Taat kepada Allah adalah pondasi paling
penting. Saling memahami dan mengerti satu sama lain. Istri tau posisi sebagai
istri, begitu juga suami. Sesama suami istri saling terbuka. Dan kepada orang
lain saling menutup kekurangan satu sama lain. Selagi suami tidak mengajak pada
keburukan serta kemaksiatan, istri wajib taat pada suami”.[12]
G. Lembaga yang Bertanggungjawab
Mengatasi Masalah KDRT.
“Ada beberapa lembaga yang dapat menangani
kasus KDRT, selain dari lembaga kepolisian kasus KDRT juga dapat ditangani oleh
Lembaga Perlindungan Wanita dan Anak. Yang pastinya akan mengatasi tindak KDRT
yang terjadi dalam suatu rumah tangga. Tindak KDRT dapat dicegah atau dikurangi
dengan cara memberi pemahaman khusus kepada masyarakat tentang KDRT”.[13]
Lembaga yang berperan dalam pengatasa masalah KDRT di
sini ada tiga, dilihat dari tingkatannya. Baik itu lembaga resmi ataupun
lembaga tidak resmi.
Pertama adalah lembaga keluarga. Lembaga keluarga di sini tidak
bersifat resmi. Namun, lebih bersifat kekeluargaan. Di mana cara
menyelesaikan masalah dapat dilakukan dengan jalan damai, yaitu perundingan
dengan dengan mempertemukan masing-masing pihak keluarga yang bermasalah, dan
dengan cara yang baik atau kepala dingin. Di lembaga kekeluargaan ini
diperlukan juga adanya pihak ketiga atau pihak yang tidak memihak kepada salah
satu pihak yang bermasalah. Pihak ketiga ini berfungsi sebagai pendamai dari
kedua pihak yang bermasalah.
Kedua, adalah lembaga masyarakat. Juga tidak bersifat resmi. Lembaga
masyarkat dapat berupa RT, RW, RK, lurah/kepala desa, atau dapat juga tokoh
masyarakat di daerah tersebut.
Yang terakhir atau ketiga yaitu
lembaga pemerintahan/negara. Sebagaiman yang kita ketahui, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan persoalan kekerasan
berbasis gender yang paling sering dihadapi oleh banyak perempuan di dunia.
Upaya penghapusan dan penanganan tindak KDRT saat ini menjadi isu global.
Melihat banyaknya kasus KDRT yang terjadi dan dampak yang diakibatkan dari
adanya tindakan KDRT. Contohnya dengan menetapkan perundang-undangan.
H.
Kebijakan yang Telah dan Harus Dibuat serta Ditetapkan Lembaga untuk Mengatasi Mesalah
KDRT.
Kebijakan
dapat juga dikatakan suatu keputusan yang diambil dengan memepertimbangkan
baiak buruknya sesuatu. Kebijakan yang dimaksud di sisi adalah untuk menyelesaikan/mendamaikan
kasusu KDRT.[14]
Pertama,
contoh kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah dalam upaya menangani Kasus KDRT adalah pada tahun 2004, yaitu dengan cara:
1.
Pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang No.23 Tahun 2004 UU PKDRT yang meliputi upaya
pencegahan, perlindungan, dan pemulihan korban KDRT, dan
2.
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia
No. 84/HUK/2010 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 16 Tahun 2013
mengenai Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3).
Misalnya LK3 yang terdapat di Kota Yogyakarta adalah LK3 Sekar
Melati, yang kemunculannya dilatarbelakangi karena tidak semua keluarga dapat
menyelesaikan permasalahan dan konflik yang dialami, serta angka perceraian
yang tinggi akibat dari kasus KDRT menyebabkan lembaga ini muncul sebagai upaya
antisipasi agar dampak yang diakibatkan oleh terjadinya kasus KDRT tidak
berujung pada perceraian.
Kedua, kebijakan yang
harus dibuat. Kebijakan
yang harus dibuat tahapan yang terkecil adalah dalam lingkungan
keluarga itu sendiri. Kebijakan tersebut dapat berupa membiasakan sifat-sifat
terpuji. Contohnya, rasa saling memahami, saling menyayangi, jujur, memaafkan,
komunikasi terjalin dengan baik, dan menghargai antara sesama anggota keluarga.
Namun, apabila kebijakan dalam
keluarga yang telah tersebut di atas tidak dapat berjalan sesuai dengan keinginan.
Ada tahapan menengah, yaitu dalam lingkungan masyarakat.
Kebijakan yang dimaksud dapat berupa ketentuan-ketentuan ringan. Misalnya:
apabila di dalam keluarga seseorang ada yang mengalami KDRT diharapkan untuk
segera melaporkan kepada RT/RW atau pihak yang dianggap berkedudukan
penting dalam suatu masyarakat tersebut. Tanda kutip apabila memang
pihak keluarga tidak dapat membantu dan atau tidak memiliki anggota keluarga
lain, untuk menyelesaikan masalah tersebut. Setelah melaporkan, RT/RW akan mencari
solusi terbaik dengan jalan damai antara kedua belah pihak. Dengan membicarakan
dari hati kehati sebagai pihak ketiga atau pihak yang mendamaikan. Namun,
apabila masalah ini tetap tidak dapat diselesaikan secara baik, maka dibawa
kelembaga yang lebih tinggi tingkatannya. Yaitu lembaga hukum atau lembaga
pengadilan. Yang nantinya akan berakhir perceraian atau rujuk.
Atau bahkan salah satu pihak yang melakukan KDRT akan mendapatkan hukuman
berupa tahanan dan atau denda dari pihak koran. Terakhir, kebijakan
yang harus dibuat oleh lembaga pemerintahan yaitu:
1. UU yang mengatur khusus masalah KDRT
2.
UU yang dibuat harus lebih tegas sangsinya
Tidak
hanya memenjarakan/menahan pelaku, tapi juga mengenakan denda dan hal-hal lain
yang dapat membuat pelaku jera. Sehingga pelaku tidak lagi mengulangi
kesalahannya tersebut. Apalagi kekerasan yang dilakukan telah melebihi batas
kemanusiaan atau bahkan menghilangkan nyawa korban.
Yang ketiga, yaitu menetapkan kebijakan
tersebut diatas dengan cara:
1.
Dalam keluarga
a.
Belajar agama
Sejak
kecil kita haruslah membiasakan anak kita untuk belajar memahami agama dengan
baik dan benar. Begitupun dengan kita/orangtua. Apabila belum begitu memahami
atau ingin memperdalam agama, jangan malu dan ragu untuk memperdalam agama. Contohnya
untuk istri dengan cara mengikuti pengajian rutin dan shalat jum’at untuk
suami. Atau menghadiri pengajian-pengajian.[15]
Sehingga pengetahuan agama akan bertambah, dan membina keluarga berdasarkan
Al-Qur’an dan Hadits.
b.
Saling memahami satu sama lain
c.
Jujur dan mengalah
2.
Dalam masyarakat
a.
Saling perduli
b.
Saling tolong-menolong.
c.
Pemikian yang jernih
3.
Dalam bangsa dan negara
a.
Tegas
b.
Melihat beratnya kekerasan
c.
Tidak manipulatif
“Saudara yang mengetahui
adanya kekerasan dalam rumah tangga, yang terjadi di lingkungan saudara,
memiliki kewajiban moril untuk melaporkan peristiwa tersebut kepada aparat
penegak hukum. Walaupun dalam pasal 165 KUHP sesuai dengan ketentuan Pasal 15
UU PKDRT yang berbunyi:
“Setiap orang
yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan perlindungan kepada korban;
c. memberikan pertolongan darurat;
d. membantu proses pengajuan pemohonan penetapan
perlindungan”.
Jadi saudara yang mengetahui adanya
kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di lingkungan saudara mempunyai
kewajiban moril untuk melaporkan peristiwa tersebut kepada aparat penegak
hukum, walaupun dalam pasal 165 KUHP hanya mengatur beberapa perbuatan saja
yang wajib untuk dilaporkan jika mengetahuinya. Hal ini guna mencegah
terjadinya suatu tindak kejahatan yang terus-menerus di lingkungan saudara”.[16]
I.Keuntungan dan Kerugian/kelemahan
dari Kebijakan Tersebut
1. Kelemahan
a.
Kurangnya pemahaman agama ataU lemahnya iman/agama
b.
Karakter setiap orang yang berbeda-beda
c.
Gengsi untuk meminta maaf terlebih dahulu
d.
Kurang perhatian dari pihak keluarga maupun masarakat
e.
Lembaga hukum yang kurang cekatan dan tegas dalam penanganan masalah ini
f.
Adanya manipulasi dalam hukum
2. Keuntungan
a.
Lebih medekatkan diri kepada Allah dengan banyak belajar agama
b.
Meminimalisir adanya KDRT
c.
Menciptakan keluarga yang bahagia
d.
Menciptakan masyarakat yang sejahtera, tenteram dan nyaman
e.
Menciptakan bangsa dan negara yang rukun
J. Observasi KDRT
Observasi
yang penulis lakukan mengenai kasus KDRT ini
menghasilkan jawaban yang bermacam-macam. Berikut data wawancara observasi yang
penulis dapatkan dari kelas E (Bahasa Indonesia):[17]
1. Ade Kartika Dewi
“Kedua orang tua saya jarang bertemu, begitu juga
kami (anak-anak). Dikarenakan ayah bekerja di Kalimantan. Bertemu 3 tahun
sekali jika ayah pulang. Dan tidak pernah terjadi KDRT, sajauh ini hanya
bertengkar biasa saja”.
2. Dewi Rahmawati
“Sejauh ini orang tua saya hanya marah/cekcok
seperti layaknya suami istri pada umumnya. Tapi kedua orang tua saya saling
mengalah, inilah kuncinya. Sehingga tidak terjadi konflik yang bertambah besar
dan na’udzubillah KDRT”.
3. Elva Yudita Halimatus Sa’diyah
“Orang tua saya jarang bertemu. Karena ayah saya bekerja jauh. Biasanya
ayah pulang 2 tahun sekali. Tapi dalam tanda kutip, ayah dan ibu saya serta
saya selalu menjaga komunikasi dengan sangat baik”.
4. Iltiqoul Jannati
“Orang tua yang baik adalah orang tua yang selalu
menampakkan kebaikan dan kelembutan dihadapan anak-anaknya. Bukan sebaliknya.
Saya tidak pernah melihat orang tua saya bertengkar. Apalagi KDRT”.
5. Mahmudatun Hasanah
“Alhamdulillah, selama ini orang tua saya tidak
pernah melakukan yang namanya KDRT. Kunci utamanya adalah saling mengerti dan jujur.
Dan watak orang tua saya juga kalem-kalem”.
6. Muhammad Khairul Anam
“Kalau KDRT alhamdulillah gak pernah.biasanya kami
hanya adu argumen saja. Tidak sampai menggunakan kekerasan. Biasanya karena perbedaan
pendapat, meskipun hanya hal sepele, tapi debat kami tidak lama. Hanya beberapa menit saja”.[18]
Begitulah tutur orang tua saya.
7. Nelly Agustin
“Dalam rumah tangga orangtua saya, saya tidak pernah
melihat adanya KDRT ringan maupun KDRT berat. Kelurga kami baik-baik saja. Tapi
waktu itu ibu pernah cerita penah KDRT seperti dibantingin piring. tapi gak
kena. Tapi saya yakin dalam keluarga kami baik-baik saja dan tidak pernah
terjadi KDRT”.
8. Sahdah Widia Kirana
“Orang tua saya pernah KDRT. Tapi KDRT dalam hal
pendidikan pada anak-anaknya. Bukan maksud menyakiti. Sering sekali ditendang.
Tapi karena sering, kami sebagai anak-anaknya tidak lagi merasakan sakit yang berlebih. Ayah
saya melakukan ini karena tidak ingin kami melakukan kesalahan”.
Dapat dilihat
dari data-data hasil observasi di atas bahwa:
1. Kekerasan sering terjadi di sebuah keluarga, dalam
motif dan tujuan serta latar belakang yang berbeda-beda.
2. Di dalam suatu rumah tangga tidak lepas dari
permasalah-permasalah.
Tergantung anggota keluarga itu sendiri dalam menyelesaikan
permasalah-permasalahan yang timbul. Apakah dengan sabar, saling mengerti,
jujur saling memahami dan mengalah. Atau bahkan sebaliknya, menaggapi
permasalah dengan emosi, tidak berfikir jernih, egois dan dengan kekerasan.
[2] Joko Tri
Prasetya, dkk, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2011), hal. 29.
[3] Hasil
wawancara dari seorang Mahasiswa (M. Mansyuruddin AR) STAINU Jakarta, Senin, 30
November 2015, 19:36 WIB.
[5] Joko Tri
Prasetya, dkk, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2011), hal. 52.
[6]M. Arifin, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, cet:3, 2008), hal. 52.
[7]Joko Tri
Prasetya, dkk, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), hal. 82.
[8] https://musniumar.eordpress.com/2012/07/09/pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-dalam- rumah-tangga-kdrt/. Senin, 30 Desember
2015, 17:30 WIB.
[9] Joko Tri
Prasetya, dkk, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2011), hal. 134.
[10] Joko Tri
Prasetya, dkk, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2011), hal. 251.
[11] https://musniumar.eordpress.com/2012/07/09/pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt/.
Senin, 30 Desember 2015, 17:30 WIB.
[12] Wawancara
Mahasiswa Pascasarjana, Rabo, 02 Desember 2015, 11:15 WIB.
[14] Wawancara
Mahasiswa PBI sem7 STAIN Jusi Metro (Desti Ratnasari), Rabo 02 November 2015,
18:45 WIB.
[15] Wawancara
Mahasiswa STAITB (M. Rendi Mustofa),Rabo 02 Desember 2015, 17:30 WIB.
[16] Wawancara
Mahasiswi Fakultas Pertanian UNILA (Rizki Amanda Nanda Riza), 03 Desember 2015,
06:25 WIB.
[17] Wawancara
Mahasiswa kelas E (Bahasa Indonesia) Prodi PAI STAIN Jusi Metro semester 1. 02
Desember 2015, 13:30 WIB.
[18] Wawancara
Bapak Suyoyo dan Ibu Siti, senin 30 November 2015, 20:00 WIB.
0 komentar:
Posting Komentar