Pages

Makalah mengenai Filsafat Islam, Tokoh-Tokoh dan Pemikirannya

NELLY AGUSTIN / Pendidikan Agama Islam
 
 
A.      Pengertian Filsafat Islam
Filsafat adalah pencarian kebenaran melalui alur berpikir yang sistematis, artinya perbincangan mengenai segala sesuatu dilakukan secara teratur mengikuti sistem yang berlaku sehingga tahapan-tahapannya mudah diikuti.[1]
Filsafat selalu mencari jawaban-jawaban tetapi jawaban yang ditemukan tidak pernah abadi. Oleh karena itu, filsafat tidak pernah selesai dan tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah. Masalah-masalah filsafat tidak pernah selesai karena itulah memang sebenarnya berfilsafat.
Alkisah bertanyalah seorang awam pada ahli filsafat yang arif bijaksana, “coba sebutkan kepada saya berapa jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan kehidupannya!”
Filsuf itu menarik nafas panjang dan berpantun:
ü  Ada orang yang tahu ditahunya.
ü  Ada orang yang tahu ditidak tahunya.
ü  Ada orang yang tidak tahu ditahunya.
ü  Ada orang yang tidak tahu ditidak tahunya.
“Bagaimana caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?” sambung orang awam itu (penuh hasrat dalam ketidak tahuannya).
“Mudah saja”, jawab filsuf itu, “ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu”. Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya.[2]
            Demikianlah sedikit alkisah tentang filsafat yang intinya adalah apa yang sudah kita ketahui jangan membuat kita malas untuk mencari tahu apa yang belum kita tahu. Dan teruslah mencari tahu apapun yang belum kita ketahui. Dengan penuh rasa ingin tahu dan dengan kepastian.
Islam adalah suatu nama bagi sebutan sebuah agama. Agama yang dibawa oleh seorang nabi dan rasul yang Agung, yaitu Rasulullah Muhammad saw. Rasulullah saw bersabda dalam sunnahnya riwayat Bukhari-Muslim, yang berbunyi, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah (tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu.”
Jika melihat awan yang menebal, itu pertanda akan turun hujan. Jika ada orang sakit, ia harus berobat. Hubungan-hubungan tersebut baru diketahuinya setelah ia mengetahui esensi sesuatu, yaitu susunan dan ciri khasnya. Jika ia telah mengetahui esensi penyakit dan esensi obat, ia bisa tahu rahasia kerja dari obat tersebut terhadap badan yang sakit, dan mengetahui pula antara keduanya terdapat hubungan dan keseimbangan yang memungkinkan obat tersebut bisa menghilangkan sakit. Si sakit akhirnya sembuh atas perantara obat. Pengalaman inilah yang disebut sebagai pengalaman empiris bagi manusia.
Dari manakah pengalaman empiris ini didapatkan? Tentu pengalaman ini bermula dari suatu permasalahan yang harus diselesaikan. Bermula dengan berfikirnya manusia, lalu mereka berfilsafat dengan pikiran mereka tersebut. Bagaimanakah cara menyelesaikan masalah ini? Terus berfilsafat, dengan tidak hanya berpikir saja yang mereka lakukan. Merekapun mulai melakukan percobaan-percobaan yang rasional maupun di luar kerasionalan, demi menyelesaikan permasalahan yang ada.
Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan lagi. Akan tetapi siapakah yang menyembuhkan orang yang sakit? Apakah benar obat yang membuatnya sembuh? Lalu darimana asalnya obat, siapa yang mula menciptakannya, lalu mengapa bisa menyembuhkan? Pertanyaan demi pertanyaanpun telah muncul, tetapi jawabannya belum ditemukan. Untuk mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan itu, selalu lahirlah filsafat islam, yang selalu mencoba memikirkan secara kontemplatif (Kontemplatif berasal dari Bahasa Latin (contemplore) berarti merenung dan memandang. Kontemplatif merupakan cara hidup yang mengutamakan kehidupan penuh ketenangan), tentang kebenaran hakiki dari segala sesuatu dan segala sesuatu yang benar-benar hakiki.
Pertanyaan tidak berhenti disitu, manusia pun mempertanyakan penggerak semua yang ada di alam ini? Yang tentu, Dia yang menyembuhkan seluruh penyakit. Karena sehat berasal dari-Nya, demikian pula dengan sakit, tentu ‘obat’-nya Dia-lah yang memilikinya.
Inilah yang dimaksudkan dengan filsafat islam, berfilsafat amat mendalam dan `yang disumberkan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yang berdasarkan Allah swt. dan Nabi Muhammad saw. Dengan rasio manusia yang seintelektual apapun tidak akan dapat menentang kekuasaan ilmu Allah yang Maha Luas dan Mahatahu.
Filsafat islam bukan hanya meliputi apa yang tersebut di atas, tetapi juga tidak melupakan terhadap problem-problem besar filsafat, seperti soal wujud, esa, mengenal teori kebahagiaan dan keutamaan hubungan Tuhan dengan manusia dan lain-lain.yang pasti tentang ke-Tuhan-an.
Filsafat islam banyak kemiripan dengan pandangan-pandangan orang Yunani, terutama Aristoteles, di mana teorinya tentang pembagian filsafat diikuti oleh filosof-filosof islam. Bahkan, di kalangan filosof-filosof islam, filsafat mencakup ilmu kedokteran, biologi, matematika, kimia, fisika, musik dan falak, yang kesemuanya ini tidak lain adalah cabang-cabang filsafat.
Oleh karena itu, tidaklah aneh kalau filsafat tersebut memasuki juga lapangan-lapangan ilmu keislaman yang lain, dan memengaruhi pula pembatasan-pembatasannya, apalagi penyelidikan ilmu keilmuan pada waktu itu banyak bersifat ensiklopedis (berdasarkan buku-buku ilmu pengetahuan yang disusun secara teratur) yang multidimensi (memuat berbagaimacam ilmu pengetahuan).[3]
B.       Tokoh-Tokoh dan Pemikiran-Pemikiran Mereka dalam Filsafat Islam
1. Al-Kindi  (185-252 H/806-873 M)
Nama aslinya Abu Yusuf bin Ishak dan terkenal dengan sebutan “Filosof Arab”, keturunan Arab asli dan nenek-neneknya adalah raja di Arabia Selatan.
Al-Kindi adalah orang yang pertama memberikan pengertian filsafat dan lapangannya.[4]  Ia mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang termulia serta terbaik dan tidak bisa ditinggalkan oleh setiap orang yang berfikir.
Al-Kindi meninjau filsafat secara internal dan eksternal. Secara internal maksudnya, ia mengikuti pendapat-pendapat filosof-filosof besar tentang arti kata “filsafat”, dan dalam risalahnya yang khusus mengenai definisi filsafat, ia menyebutkan enam definisi yang kebanyakan bercorak Platonisme. Adapun secara eksternal, ia bermaksud memberikan definisi sendiri bagi filsafat.
Menurut Al-Kindi, filsafat adalah ilmu tentang hakikat (kebenaran) segala sesuatu menurut kesanggupan manusia, yang mencakup ilmu ketuhanan, keesaan (wahdaniyah), ilmu keutamaan (fadhilah), ilmu tentang segala cara meraih maslahat dan menghindar dari madharat. Tujuan filosof bersifat teoritis, yaitu mengetahui kebenaran praktis, dan mewujudkan kebenaran tersebut dalam tindakan. Semakin dekat kepada kebenaran, semakin dekat pula pada kesempurnaan.
Al-Kindi membagi filsafat menjadi tiga bagian, yaitu ilmu fisika (thibiyyat) sebagai tingkat terbawah; matematika (al-ilm ar-riyadhi) sebagai tingkatan tengah-tengah; dan ilmu ketuhanan (ilm ar-rububiyyah) sebagai tingkatan yang paling tinggi.
Alasan pembagian tersebut adalah ilmu ada kalanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat diindra, yaitu sesuatu yang berbenda, yaitu fisika; atau ada kalanya berhubungan dengan benda, tetapi mempunyai wujud sendiri yaitu matematika, yang terdiri dari ilmu hitung, teknik, astronomi dan musik; atau tidak berhubungan dengan benda sama sekali, yaitu ketuhanan.
a.      Filsafat Fisika
Al-Kindi mengatakan bahwa alam ini ada illat-nya (sebab) yang jauh dan yang menjadikan sebagiannya sebagai illat bagi yang lain. Oleh karena itu, alam ini asalnya tidak ada, kemudian menjadi ada karena diciptakan oleh Tuhan, dan karenanya pula, ia tidak dapat membenarkan qadim-nya alam.[5]
Ia mengatakan bahwa di alam ini terdapat berbagai macam gerak, antara lain adalah gerak kejadian dan empat illat, yang telah dikatakan Aristoteles sebelumnya, yaitu illat materi atau illat unsur (illat maddiyah; material cause), illat bentuk (illat shuriyah; form cause), illat pencipta (illat fa’illlah; moving cause), dan illat tujuan (illat ghayah; final cause).
Ia akhirnya sampai pada yang dinamakan “Illat Pencipta terjauh: bagi tiap-tiap kejadian dan kemusnahan, yaitu illat pertama atau Tuhan, dan ia juga sampai pada illat terdekat, yaitu semua benda langit yang bekerja untuk menjadikan atau memusnahkan dengan perantara empat unsur, yaitu panas, dingin, basah dan kering. Yang hanya terdapat di Bumi.
b.      Metafisika
Permasalah metafisika di bicarakan Al-Kindi dalam beberapa risalahnya, antara lain risalah yang berjudul Tentang Filsafat Pertama dan Tentang Ke-Esa-an Tuhan dan Berakhirnya Benda-Benda Alam. Pembicaraan dalam soal ini meliputi:
1)      Hakikat Tuhan
Tuhan adalah wujud yang hak (benar) yang bukan asalnya tidak ada kemudian menjadi ada. Ia selalu mustahil tidak ada. Ia selalu ada dan akan selalu ada. Oleh karena itu Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului oleh wujud lain, tidak berakhir wujud-Nya dan tidak ada wujud kecuali dengan-Nya.[6]
2)      Bukti-Bukti Wujud Tuhan
Untuk membuktikan wujud Tuhan, Al-Kindi menggunakan jalan, yaitu:
a)      Barunya alam
Al-Kindi menanyakan apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi wujud dirinya, ataukah tidak mungkin? Dijawabnya, bahwa hal itu tidaklah mungkin. Alam ini adalah baru dan ada permulaan waktunya, karena alam ini terbatas. Oleh karena itu mesti ada yang membuat alam ini terjadi (ada yang menjadikan). Tidak mungki ada benda yang ada dengan sendirinya. Dengan demikian, ia diciptakan oleh penciptanya dari tiada.[7]
b)      Keanekaragaman dalam wujud
Al-Kindi mengatakan bahwa tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa keseragaman, atau ada keseragaman tanpa keanekaragaman. Kalau alam indrawi tergabung dalam keanekaragaman dan keseragaman bersama-sama, hal ini bukan karena kebetulan, melainkan karena suatu sebab. Akan tetapi, sebab ini bukanlah alam itu sendiri, sebab kalau alam itu sendiri yang menjadi sebabnya, tidak ada habis-habisnya, dan demikian seterusnya, sedang sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi.
Oleh karena itu, “sebab” tersebut haruslah ada di luar alam dan lebih mulia, lebih tinggi dan lebih dahulu adanya, karena sebab harus ada sebelum akibat/efeknya.[8]
c)      Dan kerapian alam.
Al-Kindi mengatakan bahwa alam lahir tidak mungkin rapi dan teratur, kecuali adanya Zak yang tidak tampak. Zat yang tidak tampak tersebut hanya dapat diketahui melalui bekas-bekas-Nya dan kerapian yang terdapat pada alm ini.[9]
c.       Sifat-Sifat Tuhan
Al-Kindi dalam hal ini mengikuti pendirian golongan Mu’tazilah. Di antara sifat-sifat Tuhan adalah keesaan, suatu sifat yang paling khas bagi-Nya. Tuhan itu satu Zat-Nya dan satu dalam hitungan. Karena itu pula, sifat Tuhan adalah Yang Mahatahu, Yang Mahakuasa, Yang Mahahidup, dan seterusnya.
Al-Kindi membuktikan keesaan tersebut dengan mengatakan bahwa ia bukan benda; bukan form (shurah); tidak mempunyai kuantitas; tidak mempunyai kualitas; tidak berhubungan dengan yang lain, misalnya sebagai ayah atau anak; tidak bisa disifati dengan apa yang ada dalam pikiran; tidak bertubuh; tidak bergerak.[10]
Oleh karena itu, Tuhan adalah keesaan belaka, tidak ada yang lain selain keesaan itu semata. Begitu pula, Tuhan bersifat azali, yaitu zat yang sama sekali tidak bisa dikatan pernah tidak ada, atau pada permulaannya ada, melainkan Zat yang ada, dan wujud-Nya tidak bergantung pada lain-Nya atau bergantung pada sebab, tidak ada yang menjadikan-Nya.
Kesimpulannya ialah bahwa Tuhan adalah sebab pertama (first cause), di mana wujudnya bukan karena sebab yang lain. Ia adalah Zat yang menciptakan, tetapi bukan diciptakan; menciptakan segala sesuatu dari tiada. Ia adalah Zat yang menyempurnakan, bukan disempurnakan.
Pandangan al-Kindi tentang etika. Etika berhubungan erat dengan definisi mengenai filsafat atau ciri filsafat yaitu manusia memiliki keutamaan yang sempurna, juga diberi definisi yaitu sebagai latihan untuk mati, yaitu mematikan hawa nafsu, yang dengan jalan mematikan hawa nafsu itu untuk memperoleh keutamaan. Baginya keutamaan hidup adalah keburukan dan bekerja untuk memperoleh kenikmatan hidup lahiriyah berarti meninggalkan penggunaan akal, “bahwa keutamaan manusiawi tidak lain adalah budi pekerti yang terpuji”.[11]
2.      Al-Farabi
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Quzalq bin Turkahn al-Farabi.
Al-Farabi memiliki banyak keistimewaan, salah satunya yaitu dalam tutur bahasanya yang ringkas dan tepat, berhati-hati dalam memilih kata-kata yang digunakan dalam pernyatan-pernyataannya. Ungkapan-ungkapannya mempunyai arti yang menghujam. Itulah sebabnya salah seorang komentator. Max Harton mengatakan bahwa al-Farabi sangat indah tutur katanya dan mudah dipahami jalan pikirannya.[1]
Mengenai corak pemikiran filsafat al-Farabi berbeda dengan filosof lainnya. Ia mengambil ajaran dari para filosof terdahulu, kemudian mengkontruksikannya kembali kedalam format yang lebih relevan dengan lingkungan kebudayaan yang ada pada saat itu. Selain itu, al-Farabi juga dikenal sebagai filosof yang berpikir logis, baik dalam statemen, argumentasi, diskusi, keterangan dan penalarannya.
Al-Farabi sangat banyak berfilsafat, salah satunya adalah tentang jiwa. Menurutnya bahwa jiwa ini memancar dari akal kesepuluh, dan mempunyai daya-daya sebagai berikut:
a.       Daya al-Muharrikah, yaitu daya gerak atau motion. Dengan daya ini menyebabkan manusia dapat makan,memelihara dan berkembang biak.
b.      Daya al-Mudrikah, yaitu daya mengetahui atau cognition. Dengan daya ini manusia dapat merasa dan berimajinasi.
c.       Daya al-Nathiqah, yaitu daya berpikir atau intellection. Dengan daya ini manusia dapat berpikir secara teoritus dan praktis (al-aql al-Nadhary wa al-Amaly).[2]
Filsafat al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat Aristoteles (aristotelen) dan Neoplatonosme (platonis dalam bentuk baru) dengan pikiran keislaman yang jelas dan corak aliran Syi’ah Imamiyah. Misalnya dalam soal mantik dan soal filsafat fisika, ia mengikuti Aristoteles, dalam soal etika dan politik, ia mengikuti Plato, dan soal metafisika, ia mengikuti Plotinus. Selain itu al-Farabi adalah seorang filosof sinkretisme (pemaduan) yang percaya akan persatuan (ketunggalan) filsafat.[3]
Al-Farabi berfilsafat tentang metafisika, diantaranya adalah
a. Tuhan
Al-Farabi sebelum membicarakan tentang hakikat Tuhan dan sifat-sifat-Nya terlebih dahulu membagi wujud yang ada menjadi dua bagian.
1)      Wujud yang mumkin atau wujud yang nyata karena yang lainnya (wajib lighairihi), seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau tidak ada matahari. Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya sebab yang pertama (Tuhan), karena yang mumkin harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyata dan pertama kali ada.
2)      Wujud yang nyata dengan sendirinya (wajib al-wujud lidzatih). Wujud adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya. Wujud yang apabila diperkirakan tidak ada, akan timbul dan kelihatan sama sekali. Kalau ia tidak ada, yang lainpun tidak akan ada sama sekali. Ia adalah sebab Yang Pertama bagi semua wujud. Wujud yang wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah).
            b. Hakikat Tuhan
Allah adalah wujud yang sempurna dan yang ada tanpa suatu sebab, karena kalau ada sebab bagi-Nya berarti Ia tidak sempurna, sebab bergantung kepadanya. Ia adalah wujud yang paling mulia dan paling dahulu adanya. Oleh karwena itu, Tuhan adalah Zat yang azali (tanpa permulaan) yang selalu ada. Zat-Nya itu sendiri sudah cukup menjadi sebab bagi keabadian wujud-Nya.
d.      Sifat-Sifat Tuhan
Sifat Tuhan tidak berbeda dengaan Zat-Nya, karena Tuhan adalah Tunggal. Tuhan yang digambarkan oleh al-Farabi adalah Tuhan yang jauh dari makhluk-Nya dan Ia tidak bisa dicapai, kecuali dengan renungan dan amalan serta amalan-amalan tasawuf (pengalaman batin).[4]


[1] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafatdan Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001, cet: 5), hal. 86.
[2] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafatdan Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001, cet: 5), hal. 89.
[3] Ibid., hal. 450.
[4] Atang Abdul Hakim & Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 460.
 


[1] Atang Abdul Hakim & Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 15.
[2] Jujun S. Surjasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009), hal. 29.
[3] Atang Abdul Hakim & Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 439.
[4] Ibid., hal. 436.
[5] Atang Abdul Hakim & Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 443.
[6] Atang Abdul Hakim & Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 445.
[7] Ibid., hal. 446.
[8] Ibid.
[9] Atang Abdul Hakim & Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 446.
[10] Ibid., hal. 446-447.
[11] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal. 28.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © Nelly Agustin Education. Template created by Volverene from Templates Block
WP by Simply WP | Solitaire Online