Pages

Makalah tentang Biografi Al-Ghazali



Nelly Agustin (PAI)
A.  Biografi Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad Ibn Al-Ghazali Ath-Thusi meupakan nama lengkap dari Al-Ghazali sebagai panggilannya atau Abu Hamid Al-Ghazali. Beliau adalah seorang Pesia asli yang dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di Thus (sekarang dekat Mashed), sebuah kota kecil di Khurasan (sekarang Iran). Beliau lahir tahun ketiga setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad. Nama Al-Ghazali terkadang juga ditulis dan diucapkan dengan kata Al-Ghazzali (dua huruf z). Kata ini diambil dari kata Ghazzal yang artinya tukang pintal benang, karena pekejaan ayahnya adalah memintal benang wol. Adapun kata Al-Ghazali diambil dari kata Ghazalah, yaitu nama perkampungan Al-Ghazali dilahirkan.[1]
Wafat di Tabristan wilayah provinsi Tus pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H. Bertepatan dengan 1 Desember 1111 M.[2]
Al-Ghazali adalah ahli pikir muslim dan ahli tasawuf pada abad ke-5 H (450 h) atau tahun 1058 M. Beliau terkenal sebagai ahli  pikir yang berbeda pendapat dengan kebanyakan ahli pikir muslim  yang lain (pada masanya). Sehingga diberi Gelar Hujjutul Islam.
Dalam masalah pendidikan beliau berpendapat bahwa, pendidikan hendaknya ditunjuk ke arah mendekatkan diri kepada Allah dan dari sanalah akan diperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat.hanya dengan ilmu pengetahuan manusia dapat menjadi sempurna dan dapat mengenal Tuhannya.[3]
Al-Gazali menganut dan membentengi mazhab al-Asy’ariyah (al-Asy’ariyah adalah aliran sinkretis yang berusaha mengambil sikap tengah-tengah antara dua kutub yaitu akal dan naql. Antara kaum salaf dan Mu’tazilah[4] [Mu’tazilah adalah faham yang mereka meyakini sepenuhnya kemampuan akal sebagai chiri kususnya][5]). Walaupun beliau mengkritik kajian teoritik yang dilakukan oleh kaum mutakalimin (teologi islam) dan sikap mereka berlebih-lebihan dalam berdebat dan bermusuhan.[6]
Diakhir kehidupan Al-Gazali bertindak begitu keras terhadap ilmu kalam, menggalakkan sikap kerasnya terhadap studi-studi lain. Beliau menetapkan bahwa tujuannya adalah membentengi akidah Ahlu Al-Sunnah Wal Jama’ah, dan menjaganya dari gangguan ahli bid’ah. Menurut Al-Gazali Allah adalah satu-satunya sebab alam.[7]

B.  Pemikiran Al-Gazali
Sejarah Filsafat Islam mencatat bahwa Imam Al-Ghazali pada mulanya dikenal sebagai orang yang ragu terhadap berbagai ilmu pengetahuan, baik ilmu yang dicapai melalui panca indera maupun akal pikiran.[8] Contohnya menentang filsafat, kemudian berbalik mempelajarinya dan banyak menggunakannya untuk uraian-uraiannya mengenai ilmu tasawwuf.[9] Ulama’ islam juga menganggap bahwa filsafat sangatlah penting, karena dapat sangat membantu dalam menjelaskan isi kandungan Al-Qur’an dengan keterangan-keterangan yang dapat diterima oleh akal manusia terutama mereka yang baru mengenal Islam dengan ajarannya dan mereka yang belum kuat imannya.
Dasar pelaksanaan pendidikan Islam terutama adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Yang dijelaskan berikut:

y7Ï9ºxx.ur !$uZøym÷rr& y7øs9Î) %[nrâ ô`ÏiB $tR̍øBr& 4 $tB |MZä. Íôs? $tB Ü=»tGÅ3ø9$# Ÿwur ß`»yJƒM}$# `Å3»s9ur çm»oYù=yèy_ #YqçR Ïök¨X ¾ÏmÎ/ `tB âä!$t±®S ô`ÏB $tRÏŠ$t6Ïã 4 y7¯RÎ)ur üÏöktJs9 4n<Î) :ÞºuŽÅÀ 5OŠÉ)tGó¡B ÇÎËÈ  

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. (QS. Asy-Syura: 52).
Hadits Nabi Muhammad SAW. yang artinya:
“Sesungguhnya orang mu’min yang paling dicintai oleh Allah ialah orang yang senantiasa tegak taat kepadanya dan memberikan nasihat kepada hamba-Nya, sempurna akal fikirannya,  serta menasihati pula akan dirinya sendiri, menaruh perhatian serta mengamalkan ajaran-Nya selama hayatnya, maka beruntung dan memperoleh kemenangan ia” (Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, hal. 90).[10]
Dari ayat Al-Qur’an dan hadits nabi di atas dapat diambil titik relevansi-nya dengan atau sebagai dasar pendidikan agama, mengingat:
1.      Bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada umat manusia untuk memberi petunjuk ke arah jalan hidup yang lurus dalam arti memberi bimbingan dan petunjuk ke arah jalan yan diridhai Allah SWT.
2.      Menurut hadits Nabi, bahwa di antara sifat orang mu’min ialah saling menasihati untuk mengamalkan ajaran Allah, yang dapat diformulasikan sebagai usaha atau dalam bentuk pendidikan Islam.
3.      Al-Qur’an dan Hadits tersebut menerangkan bahwa Nabi adalah benar-benar pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus, sehingga beliau meme-rintahkan kepada umatnya agar saling memberi petunjuk, memeberikan bimbingan, penyuluhan dan pendidikan Islam.
Namun, telah berlebihan filsafat Islam yang dimasukkan oleh Al-Ghazali dalam alam Islami di Timur. Ghazali dengan filsafat Islamnya menuju ke arah bidang ruhaniyah, hingga menghilang ia ke dalam mega alam tasawwuf.[11]    
1.      Peranan Pendidikan
Al-Ghazali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikan yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa. Demikian hasil pengamatan Ahmad Fuad al-Ahwani terhadap pemikiran pendidikan Al-Ghazali.
Sementara itu H.M. Arifin, guru besar dalam bidang pendidikan mengatakan, bila dipandang dari segi filosofis, al-Ghazali adalah penganut paham idealisme yang konsekuen terhadap agama sebagai dasar pandangannya. Dalam masalah pendidikan Al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme. Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya seorang anak bergantung kepada orangtua dan orang yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, munri, laksana permata yang sangat berharga sederhana dan bersih dari gambaran apapun. Hal ini sejalan dengan pesan Rasulullah SAW yang menegaskan:
“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan berssih, kedua orangtualah yang me-nyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR. Muslim).
Sejalan dengan hadits tersebut, Al-Ghazali mengatakan jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya jika anak itu dibiasakan melakukan perbuatan buruk dan dibiasakan kepada hal-hal yang jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek. Pentingnya pendidikan ini didasarkan kepada pengalaman hidup Al-Ghazali sendiri, yaitu sebagai orang yang tumbuh menjadi ulama besar yang menguasai sebagai ilmu pengetahuan, yang disebabkan karena pendidikan.
2.      Tujuan Pendidikan
            Al-Gazali, merumuskan tujuan pendidikan dengan menitik beratkan pada melatih anak agar dapat mencapai makrifat kepada Allah melalui jalan tasawuf yaitu dengan mujahadah (mebiasakan) dan melatih nafsu-nafsu.[12]
Menurutnya, tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri pada Allah, akan dapat menumbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan.[13]
Rumusan tujuan pendidikan yang demikian itu sejalan dengan firman Allah SWT tentang tujuan penciptaan  manusia, yaitu:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ  
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat)
3.      Pendidik
Al-Ghazali menjelaskan tentang ciri-ciri pendidik yang boleh melaksanakan pendidikan. Ciri-ciri tersebut adalah
a.       Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri.
b.      Guru jangan mengharap materi (upah) sebagai tujuan utama dari pekerjaannya.
c.       Guru harus mengingatkan muruidnya agar tujuannya adalah menuntut ilmu bukan untuk membanggakan diri atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
d.      Mendorong murid agar mencari ilmu yang bermanfaat.
e.       Guru harus menjadi contoh yang baik.
            Al-Gazali menasihati, agar para pendidik tidak selalu memberikan hukuman terhadap anak didik, akan tetapi justru mengurangi hukuman. Sebaliknya agar mendidik anak sesuai dengan fitrahnya dan menyerasikan kemampuan naluriahnya yaitu keserasian antara ghadhab (kemauan keras), dengan syahwatnya sehingga berpengaruh positif sebagaimana aslinya. Untuk tujuan positif dari proses kependidikan, hendaknya anak diberi latihan dan mujahadah sesuai dengan kemampuannya. Gharizah (naluri) anak didik adalah besifat dhariryah bagi pendidikan yang positif (baik) .[14]
Di dalam hal pendidik Islam, Al-Ghazali mewajibkan pada para pendidik Islam harus memiliki adab yang baik, karena anak-anak didiknya selalu melihat pendidiknya sebagai contoh yang harus diikutinya. Dan hal ini harus diinsafi oleh pendidik. Mata para anak didik selalu tertuju padanya dan telinganya selalu mendengarkan tentangnya. Maka apabila ia menganggap baik berarti baik pula di sisi mereka.[15]
Tipe ideal guru yang dikemukakan Al-Ghazali yang demikian sarat dengan norma akhlak itu, masih dianggap relevan jika  tidak dianggap hanya itu satu-satunya model, melainkan juga harus dilengkapi dengan persyaratan akademis dan profesi. Guru yang ideal di masa sekarang adalah guru yang memiliki persyaratankepribadian sebagaimana dikemukakan Al-Ghazali dan persyaratan akademis serta profesional.
4.      Murid/anak didik/peserta didik
Sejalan dengan menuntut ilmu penhetahuan itu sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah, maka bagi murid dikehendaki hal-hal sebagai berikut:
a.       Memuliakan guru dan bersikap rendah hati atau tidak takabur.
b.      Saling menyayangi, menolong serta berkasih sayang.
c.       Bersungguh-sungguh dalam mempelajari seluruh ilmu pengetahuan. Tidak hanya salah satunya.
d.      Menjauhi dari mempelajari berbagai mahzab yang dapat menyebabkan kekacauan daam fikiran.
5.      Kurikulum
Secara tradisional kurikulum berarti mata pelajaran yang diberikan pada anak didik untuk menanamkan sejumlah ilmu pengetahuan agar dapat dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya.
Pandangan Al-Ghazali tentang kurikulum dapat dipahami dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan. Al-Gazali  membagi ilmu pengetahuan yang terlarang dipelajari atau wajib dipelajari oleh anak didik menjadi tiga ilmu:[16]
1.      Ilmu yang tercela
Yang dimaksud dengn ilmu yang tercela adalah ilmu yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Baik di dunia maupun diakhirat. Maka ilmu ini lebih baik dijauhi, dan tidak boleh dipelajari. Karena, dengan mempelajri ilmu ini, akan lebih menjauhkan diri kita dari Allah SWT.
Misalnya: Sihir, nujum, dan perdukunan.
2.      Ilmu yang terpuji
Misalnya ilmu agama dan imu tauhid.
Melihat ilmu yang dikaji di sini adalah ilmu-ilmu yang memang menimbulkan pahala apabila kita mempelajarinya. Selain itu juga sangatlah bergun bagi kehidupan dan bekal untuk akhirat kelak.
3.      Ilmu yang terpuji pada tahap tertentu
Yaitu suatu disiplin ilmu di mana ilmu ini tidak boleh terlalu didalami karena jika tidak mampu untuk memahaminya akan mengakibatkan kegoncangan iman dan jiwa. Misalnya Ilmu Filsafat.
            Al-Gazali juga membagi ilmu menjadi dua kelompok, dilihat dari segi pentingnya, yaitu:
1.      Ilmu yang fardu
Ilmu fardu di sini dapat dikatakan adalah ilmu yang wajib kita pelajari. Seperti ilmu agama. Yang bersumberkan dari Al-Qur’an.
2.      Ilmu yang fardu kifayah
Yaitu ilu yang hukumnya fardu kifayah untuk dipelajari setiap muslim. Ilmu ini digunakan untuk memudahkan kehidupan manusia di dunia. Misalnya ilmu (hitung) matematika, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu industri, ilmu pertanian, dan lainnya.
Al-Gazali juga mengusulkan beberapa ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di sekolah sebagai berikut:
1.      Ilmu Al-Qur’an/Ilmu Agama
Yaitu ilmu yang berkaitan  dengan agama. Ilmu yang bersumber pada Al-Qur’an. Contohnya ilmu hadis, ilmu fikih, dan ilmu tafsir.
2.      Ilmu sekumpulan bahasa /Ilmu nahwu
Ilmu yang memperdalam bahasa arab khususnya. Memperdalam maknanya. Memperdalam lafadz-lafadznuya.
3.      Ilmu-ilmu yang fardu kiifayah
Ilmu yang mempermudah kehidupan manusia. Contohnya ilmu kedokteran, ilmu matematika, ilmu politik, dan ilmu teknoogoi.
4.      Ilmu kebudayaan
Seperti ilmu adat-istiadat, ilmu syair-menyair, ilmu sejarah, dan berbagai macam fisafat.


[1] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hal. 463.
[2] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hal. 209.
[3] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012, cet:6), hal.80.
[4] Ibid., hal.63.
[5] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islm, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012, cet:6), hal.48.
[6] Ibid., hal.73.
[7] Ibid., hal.74.
[8] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hal. 210.
[9] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012, cet: 6), hal. 68.
[10] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012, cet: 6), hal. 153.
[11] Ibid., hal. 143.
[12] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, cet:3, 2008), hal. 56.
[13] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hal. 212.
[14] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, cet:3, 2008), hal. 159.
[15] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012, cet: 6), hal. 170.
[16] Sa’ad Mursa Ahmad, Tathawwur Al-Fikriy Al-Tarbawijjiy, hal. 283-284.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © Nelly Agustin Education. Template created by Volverene from Templates Block
WP by Simply WP | Solitaire Online