Pages

MAKALAH JUAL BELI KREDIT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM




MAKALAH
JUAL BELI KREDIT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

                        Oleh NellyAgustin 1501010089




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Jual beli Sistem Kredit
Jual beli merupakan suatu perjanjian yang timbul disebabkan oleh adanya hubungan hukum mengenai harta kekayaan antara dua pihak atau lebih.[1]
Jual beli sistem kredit adalah jual beli yang dilakukan tidak secara kontan dimana pembeli sudah menerima barang sebagai obyek jual beli, namun belum membayar harga, baik keseluruhan maupun sebagian. Pembayaran dilakukan secara angsur sesuai dengan kesepakatan.[2]
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa jual beli kredit adalah jual beli yang dilakukan dengan membayar uang barang yang dibeli dengan cara mencicil atau kredit. Jual beli kredit tidak sama dengan riba, karena tanpa penambahan harga dari si penjual kepada si pembeli.

B.     Hukum Jual beli Sistem Kredit
Layaknya jual beli pada umumnya, jual beli dengan cara kredit juga memiliki hukumnya. Apakah diperbolehkan atau tidak, ata bahkan ada syarat-syarat tertentu. Pendapat ulama dalam hal ini beragam. Sebagaimana dijelaskan di sebagai berikut.
Setidaknya ada dua pendapat ulma mengeni hukum jual beli, dengan sistem kredit, ada yang memperbolehkan dan ada yang melarang. Pendapat pertama mengatakan di perbolehkan menambah harga sebagai ganti atas penundaan pembayaran. Ulama yang berpendapat demikian antara lain adalah jumhur ulama, termasuk ulama empat madzhab ulama salaf dan ulama-ulama kontemporer.[3]
Ulama dari empat madzhab, Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah, Hanbaliyah, Zaid bin Ali dan mayoritas ulama membolehkan jual beli dengan sistem ini, baik harga barang yang menjadi obyek transaksi sama dengan harga cash maupun lebih tinggi. Namun demikian mereka mensyaratkan kejelasan akad, yaitu adanya kesepahaman antara penjual dan pembeli bahwa jual beli itu memang dengan sistem kredit. Dalam transaksi semacam ini biasanya si penjual menyebutkan dua harga, yaitu harga cash dan harga kredit. Si pembeli harus jelas hendak membeli dengan cash atau kredit.[4]
Sebagaimana pendapat empat mazhab ulama di atas. Bahwasannya jual beli kredit dihalalkan atau di bolehkan oleh syariat Islam. Namun, syaratnya adalah kejelasan dari kedua belah pihak bahwa system jual beli tersebut adalah jual beli kredit bukan riba. Dengan menyebutkan terlebih dahulu harga cash dan kreditnya.
Sebagai contoh untuk memperjelas, misalnya Habib hendak menjual mobilnya, ia menawarkannya kepada Budi “Budi, belilah mobilku ini, kalau cash 100 juta, kalau kredit selama satu tahun 120 juta.”
Kemudian Budi menjawab “OK, Aku beli dengan sistem kredit 120 juta selama setahun.” Maka transaksi ini diperbolehkan. Berbeda halnya  bila dalam transaksi terjadi tawar menawar atau transaksi yang tidak jelas.
Misalnya Habib menawarkan “Budi belilah mobilku ini, kalau cash 100 juta, kalo kredit selama 1 tahun 120 juta.”
Kemudia Burhan menjawab “Oke, aku beli.” Tanpa ada kejelasan, apakan Budi membeli dengan cara cash atau kredit, maka transaksi semacam ini tidak di perbolehkan. Menurut jumhur transaksi semacam ini batal, sementara menurut Hanafiyah fasid, karena ketidakjelasan transaksi. Transaksi semacam ini merupakan transaksi yang mengandung dua akad sekaligus dan hal tersebut tidak di perbolehkan.[5]
Sebagaimana contoh di atas, telah jelas bahwa kejelasan dalam suatu transaksi sangat penting. Boleh jadi salah satu pihak sengaja untuk tidak memperjelas dan bisa jadi tanpa adanya unsur kesengajaan. Untuk mencegah adanya perselisihan sebaiknya transaksi yang dilakukan diperjelas sejelas mungkin.
Memang ada kemiripan antara riba dan tambahan harga dalam sistem jual beli kredit. Namun, adanya penambahan harga dalam jual beli kredit adalah sebagai ganti penundaan pembayaran barang. Ada perbedaan mendasar antara jual beli kredit dan riba. Allah menghalalkan jual beli termasuk jual beli kredit karena adanya kebutuhan. Sementara mengharamkan riba karena adanya penambahan pembayaran murni karena penundaan. .[6]
Dari pernyataan di atas, jelas bahwa riba berbeda dengan jual beli kredit. Jual beli kredit dimaksudkan karena kebutuhan sedangkan riba karena penambahan yang disebabkan karena penundaan. Jual beli kredit dilakukan atas dasar kesepakatan suka sama suka. Sedangkan riba karena keterpaksaan dari salah satu pihak. Ketika di analisis uang penjual yang barangnya dikreditkan pada pembeli tertunda pembayarannya untuk beberapa waktu. Padahal juka uang ini digunakan untuk mengembangkan usahanya maka akan menambah hasil usahanya tersebut. Sehingga uang tambahan yang diberikan oleh pembei krediat adalah sebagai pengganti untuk penjual yang telah mengorbankan uangnya yang tertahan tersebut.
Islam memperbolehkan pihak yang membeli barang, kemudian menjualnya, baik secara cash maupun kredit. Melebihkan harga karena penundaan pembayaran  di perbolehkan berdasarkan hadist nabi yang di riwayatkan Amr bin ‘Ash:[7]

عن عبد ا للّه بن عمر و بن العا ص ر ضي ا للّه عنه و عن أ بية قا ل : ( أ مر ني ر سو ل ا للّه صلى ا للّه عليه و سلم أن أ خذ البعير با لبعير ين إ لى إ بل عن عبد ا للّه بن عمر و بن ا لعا ص ر ضي ا للّه عنه وعن أ بيه قا ل : ( أ مر ني ر سو ل ا للّه صلى ا للّه عليه و سلم أ ن ا خذ ا لبعير با لبعير ين إ لى إ بل ا لصد قة.

Menanggapi hadist di atas, alasan yang di kemukakan al-Syantiqi yang memperoleh penambahan harga karena penundaan dan bukan merupakan riba adalah karena penambahan harga bukan merupakan suatu yang terukur, seperti di  timbang, di ukur dan sebagainya. Sementara riba merupakan berkaitan dengan terukur. [8]
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa dalam kredit terdapat penabahan biaya yang kadarnya tidak terukur sedangkan dalam riba penambahan biayanya terukur. Sebagai contoh seorang yang menjual mobil dengan harga cash 90 juta, kemudian dengan harga kredit 100 juta, maka hal itu di perbolehkan, selama tidak adanya kecurangan dan penipuan. Artinya, pembayaran dilakukann dengan secara angsuran, misalnya selama sepuluh bulan dengan cicilan 10 juta setiap bulan.
Hadist di atas menunjukkan bahwa harga cash berbeda dengan harga kredit. Namun demikian di haramkan apabila terjadi akad demikian “aku jual mobil ini 100 juta, kalau anda bayar tahun depan 150 juta, dan bila anda bayar dua tahun kemudian jadi 200 juta”. Hal tersebut tidak di perbolehkan karena memberatkan si pembeli. Kata ‘kalau anda’ adalah kata yang ersifat menawarkan namun dengan memaksa dan adanya penambahan harga lagi ketika ditambah waktu membayarnya.
Jumhur ulama yang memperbolehkan jual beli berhujjah dengan ayat, hadist dan kaidah fiqhiyah: [9]
1.      Firman Allah dalam surat Al-baqarah ayat 275:
3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4       
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Ayat ini adalah ayat yang sangat umum digunakan untuk menunjukkan di halalkannya jual beli, baik di lakukan dengan dua harga cash dan kredit maupun jual beli hanya dengan harga cash. Menurut jumhur, di  antara sistem pembayaran dalam jual beli adalah dengan sistem kredit. Jual beli dengan kredit merupakan bagian dari cara untuk mendapatkan keuntungan. Kredit merupakan bagian dari jual beli dab bukan bagian dari riba. Sehingga diperbolehkannya jual beli kredit.
2.      Firman Allah surah Al-baqarah ayat 282:

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4  
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah  tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.
Membayar harga secara kredit di perbolehkan, asalkan tempo atau waktu di tentukan dan jumlah pembayaran telah di tentukan sesuai kesepakatan.[10] Kata kesepakatan di sini bermakna pula sebagai perjanjian.
R. Setiawan berpendapat perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang/lebih.[11] Maksudnya yaitu kesepakatan atau perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihat dilakukan secara sukarela tanpa adanya unsure pemaksaan dan saling menyetujuinya. Ketika telah terjadi kesepakatan maka akan terjadilah pula suatu ikatan hukum. Apabila perjanjian itu bermasalah maka yang bermasalah akan mendapatkan onsekuwensi hukumnya.
Selain melakukan transaksi jual beli secara tunai juga ada menggunakan transaksi jual beli secara kredit. Dalam hal ini pihak konsumen dan pelaku usaha sebelum melakukan transaksi jual beli, mereka terlebih dahulu harus mengadakan suatu perjanjian, karena perjanjian tersebut memberikan kepastian dalam jual beli.[12]
Sebagaimana yang tertera di atas, perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan oleh penjual dan pembeli berguna untuk memberikan kepastian jual beli. Sehingga tidak ada kesamaran atau kebingungan antara keduanya, guna menghindari perselisihan. Umumnya perjanjian yang dilakuan dituangkan dalam catatan atau surat perjanjian sebagaimana tertera dalam dalil Al-Qur’an surah al-Baqarah di atas.
Melalui perjanjian pembiayaan yang merupakan perjanjian kredit jual beli, konsumen hanya perlu membubuhkan tanda tangannya pada surat perjanjian kredit jual beli yang sudah dibuat dan dipersiapkan oleh pihak penjual atau pelaku usaha.[13]
Dari pernyataan di atas, telah jelas bahwa ketika penjual dan pembeli melakukan transaksi jual beli kredit maka sebaiknya melampirkan surat perjanjian antara keduanya. Dan di beri tanda tangan (pengenal) atau bukti persetujuan penjual dan pembeli, atau pelaku perjanjian tersebut. Sehingga memiliki bukti yang kuat ketika terjadi keluapaan atau perselisihan. Surat ini juga dapat berguna untuk mencegah adanya kekeliruan dan kesalahpahaman antara penjual dan pembeli.
Kredit mengandung unsur pokok adanya kepercayaan”.[14] Ketika kedua belah pihak telah sama-sama percaya, maka akan adanya perjanjian atau kesepakatan antara penjual dan pembeli tersebut. Sehingga pada akhirnya tidak ada salah satu pihak yang dirugikan dan dipersalahkan.

3.      Hadist Nabi riwayat Aisyah ra:

عَنْ عَا ئِشَةَ رضى ا للّه عنها قَّا لَتْ جَا ءَ تْ بَرِ يرَ ةُّ فَقَا لَتْ إِ نًّى كًا تَبْتُ أَ هْلِى عَلَ تِسْعِ أَ وَا قٍ و, فِى كُلِّ عَا مٍ وَ قِيَّةٌ,  فأَ عِينِينِى

dari Aisyah Ra. Berkata ’Burairah menebus dirinya dari majikan dengan membayar sembilan awaq setiap tahun, dan ini merupakan pembayaran secara kredit. Hal itu tidak diingkari oleh Nabi, bahkan, beliau menyutujuinya. Tidak ada perbedaan, apakah harga sama dengan harga kontan atau di tambah karena adanya tempo pembayaran”.[15]
Sementara itu, kalangan ulama yang melarang jual beli kredit antara lain adalah Zainal Abidin bin Ali bin Husen, Nashir, Manshur, Imam Yahya, dan Abu Bakar al-jashash dari kalangan hanafiyah serta sekelompok ulama kontemporer. Mereka berargumen dengan ayat, hadist Nabi, dan dalil aqliyah. Diantaranya yaitu:[16]
1.      Firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 275:
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
“ Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ayat di atas mengharamkan riba, termasuk tambahan harga karena pembayaran sebagai pengganti penundaan pembayaran.[17] Dalil ini adalah dalil yang digunakan untuk membolehkan dan mengharamkan riba. Sudut pandang dalam menafsirkannya berbeda-beda sehingga terjadinya perbedaan pendapat.
Riba menjadi haram karena penunaan waktu pembayaran, dan penambahan jumlah pembayaran karena penundaan tersebut. Pembayaran yang tebilang riba berdasakan lama waktu penundaan pembayaran tersebut. Hampir sama dengan kredit, yaitu penundaan pembayaran. Namun, jumlah pembayarannya tidak berdasarkan wakt penundaan.
Namun ulama fuqaha mengharamkan dengan alasan, penambahan harga itu berkaitan dengan masalah waktu, dan hal itu berarti tidak ada bedanya dengan riba.[18] Demikian pendapat sebagian ulama yang melarang jual beli kredit.
           
C.    Syarat Jual Beli Kredit
Kebanyakan ulama menyetujui atau membolehkan jual beli kredit. Karena kredit elah memenuhi syarat dan rukun jual beli itu sendiri. Kedit juga dilakukan dengan dasar suka sama suka tanpa unsur keterpaksaan atau kezhaliman. Sehingga jumur ulama menetapkan beberapa persyaratan jual beli kredit, persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Jual beli kredit jangan sampai mengarah keriba
2.      Penjual merupakan pemilik sempurna barang yang dijual
3.      Barang diserahkan kepada sang pembeli oleh si penjual
4.      Hendaknya barang dan harga bukan jenis yang memungkinkan teradinya riba
5.      Harga dalam jual beli kredit merupakan hutang (tidak dibayarkan kontan)
6.      Barang yang diperjual belikan secara kredit diserahkan langsung
7.      Waktu pembayaran jelas, sesuai dengan kesepakatan
8.      Hendaknya pembayaran dilakukan secara angsur, tidak boleh dibayarkan secara langsung
9.      Harus memenuhi syarat dan rukun jual beli

Jual beli kredit dilakukan guna membantu dan memudahkan sesama manusia. Bukan sebaliknya, menzhalimi atau untuk menyenangkan diri sendiri. Jual beli kredit diperbolehkan apabila memenuhi persayratan dan rukun jual beli. Ketika kredit menyalahi syarat dan rukun jual beli. Maka jual beli kredit tersebut tidak diperbolehkan.













BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari penjelasan panjang di atas pada era modern ini berkembang banyak sekali permasalahan kehidupan sehari-hari, contohnya adalah jual beli dengan kredit. Dalam pandangan agama apakah jual kredit itu diperbolehkan atau tidak masih banyak pendapat yang bertentangan.
Mengenai pengertian jual beli kredit dalam persfektif hukum Islam yaitu jual beli yang dilakukan dengan membayar uang barang yang dibeli dengan cara mencicil atau kredit. Jual beli kredit tidak sama dengan riba, karena tanpa penambahan harga dari si penjual kepada si pembeli.
Mengenai hukum jual beli krdit ada dua pendapat. Menurut jumhur ulama ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan. Ulama yang tidak memperbolehkannya jual beli kredit berpendapat bahwa kredit itu menyerupai riba. Sedangkan ulama yang memperbolehkan memiliki kesepakatan syarat-sayarat jual beli kredit. Sayarat-sayarat jual beli kredit menurut ulama yang memperbolehkan adalah memenuhi rukun dan jual beli, tidak menzalimi dan tidak menyerupai riba.
Apabila rukun dan syarat ada yang tidak terpenuhi maka jual beli kredit tersebut tidak diperbolehkan. Apalagi mengandung unsur merugikan salah satu pihak, keteroaksaan, dan kezhaliman.

B.     Saran
Kepada diri pribadi dan kawan-kawan semuanya, marilah kita belaku bijak dalam jual beli. Melakukan jual beli kredit ketika kita memang benar-benar membutuhkan dan tidak memiliki kacukupan untuk membayarnya. Melaksanakan jual beli apapun terutama kredit dengan memenuhi sayrat dan rukun jual beli yang telah ditetapkan oeh sayariat Islam.
Sehingga akan terlaksanakannya syariat yangbaik dan benar, terbinanya kedamaian dan ketentraman dalam bermuamalah sesama umat manusia, serta terciptanya umat Islam yang menjalankan perintah dan larangan Allah swt. serta Rasulullah saw.
DAFTAR PUSTAKA

Hasan, M. ali. 2000. Masail Fiqhiyah Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Karianga, Saray H. 2016. KEDUDUKAN HUKUM KREDITUR DAN DEBITUR DALAM PERJANJIAN JUAL BELI TANAH, Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus.

Langi, Olvi. ANALISIS YURIDIS TERHADAP JUAL BELI KREDIT PERUMAHAN DOSEN DAN STAF ADMINISTRASI DI UNIVERSITAS NEGERI MANADO1, Artikel Tesis. Mahasiswa pada Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi.

Lestari, Anak Agung Adi. PERJANJIAN BAKU DALAM JUAL BELI KREDIT SEPEDA MOTOR DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999, Mahasiswa Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Bali.

Mustofa, Imam. 2014. Fikih Mu’amalah Kontemporer. Lampung: STAIN JURAI SIWO METRO.
Permadi, Raditya. PENYELESAIAN KREDIT MACET PADA PERJANJIAN KREDIT DENGAN AGUNAN AKTA JUAL BELI TANPA DIBEBANI HAK TANGGUNGAN, (Studi di PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk, Unit Turen), ARTIKEL ILMIAH, Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum.



[1] Saray H, Karianga, KEDUDUKAN HUKUM KREDITUR DAN DEBITUR DALAM PERJANJIAN JUAL BELI TANAH, Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus, h. 149.
[2] Imam Mustofa, Fikih Mu’amalah Kontemporer, (Lampung: STAIN JURAI SIWO METRO, 2014), h. 41.
[3] Imam Mustofa, Fikih Mu’amalah Kontemporer, (Lampung: STAIN JURAI SIWO METRO, 2014), h. 44.
[4] Imam Mustofa, Fikih Mu’amalah Kontemporer, (Lampung: STAIN JURAI SIWO METRO, 2014), h. 41.
[5] Imam Mustofa, Fikih Mu’amalah Kontemporer, (Lampung: STAIN JURAI SIWO METRO, 2014), h. 41-42.
[6] Imam Mustofa, Fikih Mu’amalah Kontemporer, (Lampung: STAIN JURAI SIWO METRO, 2014), h. 44.
[7] Imam Mustofa, Fikih Mu’amalah Kontemporer, (Lampung: STAIN JURAI SIWO METRO, 2014), h. 45.
[8] Imam Mustofa, Fikih Mu’amalah Kontemporer, (Lampung: STAIN JURAI SIWO METRO, 2014), h. 45.
[9] Imam Mustofa, Fikih Mu’amalah Kontemporer, (Lampung: STAIN JURAI SIWO METRO, 2014), h. 46.
[10] Imam Mustofa, Fikih Mu’amalah Kontemporer, (Lampung: STAIN JURAI SIWO METRO, 2014), h. 47.
[11], PERJANJIAN Permadi, Raditya. PENYELESAIAN KREDIT MACET PADA PERJANJIAN KREDIT DENGAN AGUNAN AKTA JUAL BELI TANPA DIBEBANI HAK TANGGUNGAN, (Studi di PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk, Unit Turen), ARTIKEL ILMIAH, Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum, h. 3.
[12]. Lestari, Anak Agung Adi. PERJANJIAN BAKU DALAM JUAL BELI KREDIT SEPEDA MOTOR DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999, Mahasiswa Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Bali, h. 346-347.
[13] Permadi, Raditya. PENYELESAIAN KREDIT MACET PADA PERJANJIAN KREDIT DENGAN AGUNAN AKTA JUAL BELI TANPA DIBEBANI HAK TANGGUNGAN, (Studi di PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk, Unit Turen), ARTIKEL ILMIAH, Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum.
, h. 4.
[14] Langi, Olvi. ANALISIS YURIDIS TERHADAP JUAL BELI KREDIT PERUMAHAN DOSEN DAN STAF ADMINISTRASI DI UNIVERSITAS NEGERI MANADO1, Artikel Tesis. Mahasiswa pada Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi, h. 38.
[15] Imam Mustofa, Fikih Mu’amalah Kontemporer, (Lampung: STAIN JURAI SIWO METRO, 2014), h. 47.
[16] Imam Mustofa, Fikih Mu’amalah Kontemporer, (Lampung: STAIN JURAI SIWO METRO, 2014), h. 49.
[17] . Ibid.
[18] M. ali Hasan, Masail Fiqhiyah Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 124.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © Nelly Agustin Education. Template created by Volverene from Templates Block
WP by Simply WP | Solitaire Online